Unexpectedly

Unexpectedly

| Oneshot |

| D.O. EXO, Irina, Baekhyun EXO, Jo |

| Love, Romance, Friendship |

-=-

Pria kurus berseragam sekolah itu duduk di kursinya dengan gusar. Setengah terburu-buru, ia membongkar buku pelajaran dalam tasnya dan memporak-porandakan isinya di atas meja kelas. Tangannya meraih buku dengan label ‘Deutsch’ terpampang di cover depan, lantas membukanya tergesa.

“Lupa belajar, Yo?” gumam seorang gadis dari kursi depannya sambil menatap pria itu jahil.

“Kasihan sekali,” tambah seorang pria berponi yang duduk di samping gadis itu

“Kalian diamlah. Aku harus belajar.”

“Sekadar mengingatkan, bel masuk akan berbunyi dalam lima… empat… tiga… dua…”

Dan bersamaan dengan kata satu yang keluar dari mulut gadis itu, bel sekolah pun berbunyi lantang.

“Sial!”

-=-

Dyo menatap lembaran esai berbahasa Jerman yang ia pegang. Nilai nyaris sempurnya –jika saja ia tak membuat kesalahan artikel yang mestinya maskulin namun malah ia tulis netral –yakni 90 tertera di sudut atas kertas tersebut.

“Wah, ada yang dapat nilai bagus lagi hari ini,” ujar gadis yang sama dengan penghitung bom waktu sebelum pelajaran dimulai tadi.

“Diam, Jo. Aku sedang tidak ingin bercanda.”

Jo, gadis itu, tertawa kecil. Seperti biasa, di sampingnya ada anak laki-laki berponi yang siap membela Jo. “Bersyukurlah dengan otak jeniusmu, Yo. Aku kerap berharap memiliki kecerdasan yang sama denganmu. Kau tak perlu belajar untuk mendapat nilai bagus.”

“Baek, kau tak mengerti. Aku membutuhkan lebih dari sekedar nilai bagus untuk menjadi juara kelas tahun ini.”

“Hei, santailah sedikit. Baekhyun benar. Kau tak perlu banyak usaha untuk menjadi juara kelas, bukan?”

Wajah Dyo mengeras dan matanya melebar pada Jo. “Itu dulu. Sebelum Irina masuk kelas kita. Kalian sendiri pasti menyadari bahwa nilaiku selalu di bawah anak itu. Padahal, ia tak memiliki usaha sedikit sekalipun. Sementara aku, aku belajar mati-matian.”

Tanpa sadar, Jo dan Baekhyun menoleh ke kursi paling belakang dan paling jauh dari meja guru. Seorang gadis tengah terlelap dengan kepala tergeletak di meja dan tak mempedulikan lembar esai Jermannya yang nyaris terbang tertiup angin. Mata Jo dan Baekhyun masih cukup bagus untuk melihat angka 100 tertera di kertas itu.

Sementara Dyo, pria itu menatap Irina dengan penuh rasa tak suka. Ia berharap gadis itu menghilang dari kelasnya seperti dulu.

-=-

Jam istirahat benar-benar dibutuhkan Jo. Gadis itu benci belajar, berkebalikan dengan Dyo. Dyo sendiri masih menatap pilu lembar esainya yang sejak tadi ia sesali. Bahkan Dyo mengabaikan Baekhyun yang berusaha membuatnya bereaksi dengan mengganggunya.

“Yo, jangan sedih. Kau tambah mengerikan. Kasihan sekali hidupmu, Yo. Kau tak punya pacar karena wanita takut dengan matamu. Dan kalau kau melotot terus seperti itu, mereka-”

Tiba-tiba Dyo berdiri, menatap Baekhyun cepat dengan mata melebar. Baekhyun terdiam, mengira Dyo bereaksi sungguhan dengan kalimat berisiknya sejak tadi.

“Ada rapat!” Dyo berseru cepat.

“Apa?” sahut Baekhyun diiringi suara Jo yang mengatakan hal serupa.

“Aku harus mengikuti rapat dengan ketua organisasi seni dan olahraga. Katakan pada guru yang mengajar jam berikutnya bahwa aku tidak bisa mengikuti pelajaran.”

Namun, Baekhyun menahan gerak Dyo. “Kau serius? Setelah ini matematika, Yo. Bahan yang dipelajari nanti adalah bahan untuk ulangan minggu depan. Kau tidak bisa mengikuti rapat, Yo.”

Jo menimpali sahabatnya. “Benar. Apa kau ingin mendapat nilai kurang sempurna lagi?”

Sayangnya Dyo tak bisa mengikuti saran teman-temannya itu. “Tidak bisa. Aku harus mengikuti rapat ini. Jika aku tidak hadir, mereka akan membuat keputusan sepihak tentang jumlah dana yang akan dikumpulkan untuk festival sekolah bulan depan. Aku tidak mau mereka berbuat sesuka hati.”

“Bagaimana dengan matematikanya, Yo?” tanya Jo lagi.

Dyo menatap kedua orang di hadapannya dengan penuh harap. Ia menunjuk wajah Jo dan berkata, “Aku pinjam catatanmu nanti sepulang rapat. Tulis catatanmu dengan rapi, oke? Dan jangan coba-coba berbohong dengan mengatakan bahwa kau ada urusan malam nanti. Hari ini tempat kursus bahasa diliburkan karena ada acara.”

Jo melongo tanpa sadar, mengira bahwa Dyo bisa membaca pikirannya. Pria itu berlalu begitu saja dengan tas sekolahnya, meninggalkan Jo yang masih terpaku di sana.

“Wah, mengerikan sekali.”

Tersadar akan kalimat Baekhyun, Jo menatap sahabatnya dalam-dalam. “Memang mengerikan. Tapi aku telah terbiasa dengan sikapnya dan dengan mata besarnya selalu menatapku dalam-dalam.”

“Sekarang aku mengerti alasanmu yang lebih memilih tinggal dengan aku daripada dengan Dyo.”

-=-

Dyo membanting tubuhnya hingga menghempas kursi paling belakang bis. Ia menatap jam tangannya yang menunjuk pukul lima sore. Ia menghela napas berat, merasa terbebani dengan segala tanggung jawabnya. Perlahan, mata Dyo terpejam dan mencoba untuk tertidur barang sejenak. Namun, getar di saku celananya membuyarkan segalanya.

Panggilan masuk. Dari Jo.

“Ya?”

“Hai, Yo. Ini Jo.”

“Ya, aku tau. Namamu ada di layarku secara otomatis bila kau menghubungiku.”

Jo terkikik sejenak. “Apa kau sudah pulang?”

“Ya. Aku dalam perjalanan. Katakan pada Baekhyun bahwa sebentar lagi aku sampai.”

Jo mengiyakan, lantas memutus hubungan telepon. Sementara Dyo berdiri, bersiap turun di halte selanjutnya. Langit mendung langsung menyambutnya begitu ia turun dari bis. Sambil berdoa agar hujan tak turun, Dyo berjalan kaki menuju rumah Baekhyun yang tak begitu jauh dari halte bis.

Namun, rasa lapar datang dan membuat perutnya sakit mendadak. Ia berhenti sejenak, melihat-lihat sekitar tempatnya berdiri. Mata besarnya menangkap sebuah toko roti yang tak jauh dari halte bis. Segera, pria itu memutuskan untuk mampir dan membeli roti.

Dyo melangkah mendekati toko roti. Bau harum roti tercium begitu tangan Dyo hendak menyentuh pintu toko. Namun, sebuah pemandangan di balik kaca pembatas jalanan dan toko membuat jemari Dyo kaku sesaat. Mata pria itu melebar drastis, lantas melepas tangannya dari pintu toko yang bahkan belum sempat ia buka. Tergesa, Dyo meninggalkan toko roti tersebut tanpa masuk ke dalamnya.

-=-

Pintu gerbang rumah Baekhyun terbuka setelah Dyo menekan bel sekitar lima kali. Wajah ceria milik Jo langsung menjemputnya begitu Dyo masuk melewati gerbang rumah.

“Apa kau tau toko roti dekat halte bis di persimpangan jalan?” tanya Dyo saat mereka berdua melangkah masuk ke dalam rumah.

Jo berpikir sejenak. “Ya, toko lama itu. Kenapa?”

“Tadi aku-” Dyo menimang sesaat, “sudahlah. Tak ada apa-apa. Catatannya?” Dyo mengalihkan.

Tanpa ada curiga terlintas, Jo masuk ke kamarnya dan mengambil catatan matematikanya. Sementara Dyo duduk di sofa dengan kepala terdongak ke atas, seolah melepas rasa penat di ubun-ubunnya.

“Bagaimana rapatnya, Yo?” tanyan Baekhyun yang muncul dari arah dapur.

“Buruk. Sangat buruk,” Dyo berkata masih sambil terpejam.

Jo keluar dengan beberapa catatan di tangannya. Ia langsung masuk dalam obrolan tanpa permisi. “Apa yang terjadi?”

“Mereka ingin dana untuk acara tersebut ditambah dua kali lipat. Aku tak mau melakukannya karena hal itu akan membebani anak-anak lain. Jika masalah ini tak menemui titik temu, aku akan keluar dari jabatanku sebagai ketua acara.”

“Jangan, Yo!” Baekhyun dan Jo berseru kompak.

Dyo mengangkat kepalanya. “Kenapa kalian sangat ingin aku tetap menjabat sebagai ketua acara? Kalian tau sendiri bahwa aku punya misi untuk menjadi juara kelas tahun ini. Acara itu membuat pelajaran terbengkalai.”

“Yo, menurutku, kau tak perlu memaksa untuk menjadi juara satu. Juara dua itu tak buruk. Sebaliknya, mengadakan acara yang luar biasa keren sudah cukup menurutku,” ujar Jo.

Baekhyun setuju dengan Jo. Pria itu bahkan menambahkan, “Sudah terbukti dari acara-acara lain yang kau pimpin, semua berjalan dengan luar biasa. Jadi tak perlu mengundurkan diri, Yo.”

“Dan membiarkan Irina mengambil posisiku sebagai juara kelas? Tidak akan pernah!”

“Kenapa kau sangat ingin mengalahkan Irina?” tanya Jo akhirnya karena rasa penasaran tak bisa ia bendung.

“Kau bisa melihat tingkah Irina di sekolah. Pernahkah ia memerhatikan guru yang mengajar? Yang ia lakukan hanya tidur di kelas dan tidur di mana saja. Aku tak mungkin membiarkan anak semacam itu mendapat juara satu dan membiarkan anak yang berjuang keras seperti diriku mendapat juara dua.”

Baekhyun dan Jo berpandangan satu sama lain. Entah bagaimana, keduanya tak mau mengatakan apapun untuk mematahkan kata-kata Dyo.

“Sudahlah, aku mau pulang,” putus Dyo akhirnya membuyarkan sepi.

-=-

Dyo berjalan di trotoar dengan hati-hati. Mata pria itu menatap toko roti yang berada di dekat halte dengan wajah ragu. Ia meneliti melalui kaca toko, berusaha tidak membuat gerak yang mencurigakan siapapun. Tetapi, apa yang ia lihat di dalam toko itu membuat dahinya berkerut. Tak ada pemandangan yang sama dengan apa yang ia lihat sebelumnya. Semuanya terasa normal.

Aku pasti salah lihat. Mungkin aku sedang lelah. Atau banyak pikiran, pikir Dyo.

Sejenak, ia mematung di depan pintu toko roti. Matanya melihat lambang toko yang tertempel rapi di pintu kaca tersebut. Ada tiga iris roti berwarna coklat dengan secangkir teh di sana, serta tulisan huruf-huruf yang membentuk nama toko tersebut. Lantas, ia berbalik dan meninggalkan toko begitu saja. Pria itu kembali ke halte bis dan menunggu bis seperti biasa. Ia tak mau memikirkan apapun lagi. Setidaknya saat ini.

-=-

Pagi yang tak begitu cerah, seperti wajah Dyo tentunya yang lesu tak semangat. Ia memikirkan tentang rapat yang masih berlanjut di hari baru, dan entah sampai kapan ia harus berurusan dengan rapat-rapat itu.

“Hei, Yo. Jangan tekuk wajahmu,” ujar Baekhyun sambil menepuk bahu rendah Dyo.

“Berhenti menepuk bahunya, Baekhyun. Kau membuatnya semakin pendek,” sahut Jo sambil menaruh tasnya di meja.

Dyo mendelik cepat pada Jo. “Jangan menambah masalah, Jo. Aku sedang malas bertengkar denganmu. Jadi tutup mulutmu.”

Baekhyun menepuk tangannya sekali. “Anak-anak yang baik. Sejak pertama kali aku mengenal kalian, kalian tak pernah berhenti bertengkar, bukan? Dyo yang selalu berkomentar pedas, dan Jo yang selalu menimpali ucapan orang.”

Jo tertawa dengan kata-kata Baekhyun, merasa itu lucu. Tapi Dyo tidak tertawa. Mata besar pria itu mengikuti seorang gadis yang baru saja masuk kelas tepat detik-detik terakhir sebelum bel berbunyi. Mata Dyo terus mengikuti gadis itu sampai duduk di meja paling jauh dengan papan tulis. Dyo baru tersadar ketika Jo memanggilnya.

“Mengapa kau menatap Irina seperti itu?”

“Ah? Apa maksudmu?”

“Kau menatapnya dengan dalam. Apa terjadi sesuatu antara kalian berdua?”

Dyo buru-buru menggeleng. “Jangan konyol, Jo. Duduklah di kursimu. Sebentar lagi guru datang.”

Gadis itu menurut. Ia berbalik dan kembali duduk di samping Baekhyun. Sementara Dyo masih mencoba mencuri pandang ke belakang, mencoba melihat Irina. Tapi yang ia dapati hanyalah Irina yang tengah membaringkan kepalanya di atas meja dengan wajah penuh kantuk miliknya.

-=-

Menjengkelkan, umpat Dyo dalam hati.

Pria itu mengusap seragamnya yang sedikit kotor dan kembali berlutut di koridor kelas. Ia masih menatap dirinya dengan penuh rasa belas kasihan dan meratapi nasibnya.

Kenapa aku bisa lupa bahwa hari ini ada tugas fisika? Ini gara-gara rapat itu.

Dyo masih mengutuk dalam hatinya dan mencoba mengamati sekitar. Tapi tak ada siapapun di koridor itu. Hanya ada dia seorang, berlutut di dekat pintu kelas dan menerima hukuman karena tak membuat tugasnya.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Secercah harapan muncul dalam benak Dyo. Mungkin gurunya akan memaafkan Dyo karena Dyo termasuk juara kelas, atau karena Dyo tidak pernah membuat masalah sebelumnya. Tetapi, harapan itu pupus begitu seorang gadis dengan tas selempang tak beraturan keluar dari kelas. Wajah kantuknya terlihat jelas, dan langkah kakinya agak sempoyongan.

“Keluar dari kelas, dasar pemalas. Tiap hari hanya tidur pada jam pelajaran. Aku tak bisa mengampunimu lagi, Irina,” seru guru fisika dari dalam kelas dengan keras menggema, ditambah suara bantingan pintu yang melengkapi drama tersebut.

Irina hanya menatap Dyo sekilas, lantas berlutut di samping pria itu dengan jarak sekitar satu lengan. Gadis itu sepertinya benar-benar tak niat sekolah, membuat Dyo geleng-geleng kepala saat melihatnya.

Bahkan ia membawa tasnya ikut serta. Gadis ini benar-benar tak niat pergi belajar, gema Dyo dalam otaknya.

Sambil terkantuk-kantuk, Irina membatasi posisi antara Dyo dan dirinya dengan tas selempang yang setengah terbuka. Dyo hanya melirik gadis itu tanpa minat, lalu mengabaikannya dengan tatapan tak suka. Sementara Irina mulai terpejam dan menjatuhkan kepalanya ke arah depan, sepertinya tertidur. Hal ini jelas membuat Dyo mengangkat alis tak percaya hanya dengan melihat tingkahnya.

Apa yang ia lakukan di malam hari? Apa ia belajar sedemikian kerasnya sampai-sampai tak bisa tidur? Mengerikan, gumam Dyo tanpa suara.

Gadis itu miring ke arah kiri, hampir membanting kepalanya ke lantai bila Dyo tak segera menariknya.

“Hei, apa kau gila?” tanya Dyo buru-buru sambil mengguncang bahu Irina.

Irina membuka matanya pelan. “Aku mengantuk,” gumamnya entah sadar atau tidak.

“Pergilah ke toilet. Cuci wajahmu,” sergah Dyo.

Menurut, Irina berdiri setengah tak sadar. Ia meninggalkan tasnya di sana, serta Dyo yang menatapnya tak percaya. Dyo hendak mengabaikan segala sesuatunya. Tetapi mata besarnya menangkap sebuah pemandangan dari dalam tas selempang Irina yang terbuka sedikit.

Mata Dyo menyipit, mencoba memastikan bahwa yang ia lihat adalah sebuah kantong plastik putih menyembul di sana. Dan ia yakin bahwa plastik putih itu memiliki gambar tiga iris roti berwarna coklat dengan secangkir teh, serta tulisan yang membentuk nama toko roti di dekat rumah Baekhyun.

-=-

Rapat selesai lebih cepat dari biasasnya, dan itu berarti surga bagi Dyo. Ia bisa pergi ke rumah Baekhyun lebih awal untuk meminjam catatan Jo yang belum sempat ia salin. Langit masih belum gelap saat Dyo berada di halte bis, menunggu bis seperti biasa bila ia akan ke rumah Baekhyun. Namun, seorang gadis dengan tas selempang yang bersandar setengah terpejam di dekat tiang halte membuat Dyo meniup poninya sendiri tanpa sadar.

Kenapa dia ada di semua tempat?

Seperti telepati, Irina membuka matanya dan berbentur penglihatan dengan Dyo. Dyo langsung membuang muka, dan Irina pun kembali setengah terpejam. Bis datang tak lama kemudian, membuat Dyo berlalu melewati Irina begitu saja dan melangkah masuk ke dalam bis. Baru beberapa langkah tangga, sebelum pintu bis menutup, Dyo menoleh.

“Apa kau tidak ingin pulang?”

Irina tersadar akan bis yang ada di depannya. Ia buru-buru masuk ke dalam bis tepat saat pintu akan tertutup. Keduanya, Irina dan Dyo, menatap sekeliling bis yang tak begitu ramai. Ada satu tempat duduk kosong, di paling pojok belakang, tempat kesukaan Dyo tiap kali menggunakan bis. Pria itu melangkah dengan sedikit terguncang karena bis yang berjalan, lalu menggapai tempat duduk itu.

Seorang pria dewasa yang duduk di samping Dyo menatap Dyo dan Irina bergantian. Ketika Dyo hendak memakai headphone di telinganya, pria di sampingnya menepuk bahu Dyo.

“Apa kau butuh tempat duduk untuk pacarmu?”

Sejenak Dyo tertegun. “Pacar?”

“Iya, gadis itu.”

Dan Dyo nyaris terbatuk ketika orang di sampingnya itu menunjuk Irina –gadis itu berdiri di tengah-tengah bis dengan tangan menggelayut di pegangan yang menempel di atap bus –yang terkantuk.

“Dia bukan pacarku,” geram Dyo tanpa sadar.

Orang di sampingnya hanya tertawa. “Kurasa ia membutuhkan tempat duduk. Ia akan terjatuh bila berdiri dalam keadaan mengantuk. Aku akan turun di halte berikutnya. Pacarmu bisa duduk di tempat dudukku.”

“Dia. Bukan. Pacarku.”

Tanpa peduli, orang tersebut berdiri dan menghampiri Irina. Ia menyuruh Irina duduk di kursi samping Dyo, lalu benar-benar turun di halte berikutnya. Irina tersenyum lega dengan tempat duduk yang kosong itu, tanpa menyadari tatapan mematikan dari orang yang duduk di sampingnya.

Dan seperti biasa, gadis itu jatuh tertidur dalam perjalanan. Awalnya, Dyo mau tak mempedulikan Irina. Entah gadis itu mau tidur untuk satu jam ke depan, dua jam ke depan, atau dua hari ke depan, ia tak peduli. Masalah menjadi sulit bagi Dyo ketika bis berbelok dan membuat kepala Irina jatuh di pundak Dyo dengan begitu pas.

Dyo menggeram, kehabisan kata-kata.

-=-

Halte dekat rumah Baekhyun sangat sepi. Dyo turun, meninggalkan bis begitu saja tanpa menoleh. Sayangnya, ada eksistensi lain di sekitarnya yang mau tak mau membuat Dyo terusik yakni Irina turun di halte yang sama dengannya. Hanya saja, Irina tidak berjalan ke arah yang sama dengan Dyo. Gadis itu menghilang begitu Dyo mencoba mencari jejaknya tanpa sadar.

Kenapa aku mencarinya?

Mengangkat bahu, Dyo melanjutkan perjalanan ke rumah Baekhyun. Ia mendapatkan sambutan dari Jo dengan pertanyaan heran di mulut gadis itu.

“Aku tak percaya bahwa kau berada di sini sebelum matahari terbenam.”

Dyo mendengus sambil melepas sepatunya di ambang pintu. “Apa kau tak senang, Jo? Rapat hari ini cukup lancar. Aku bisa mengambil istirahat lebih lama dan membuat semua tugasku.”

“Jangan berkata dengan nada sinis seperti itu. Kau membuatku takut,” balas Jo pelan.

Baekhyun juga ada di rumah. Pria itu tak hentinya bertanya tentang hukuman yang Dyo terima di sekolah. “Apa Irina dan kau memiliki obrolan yang bagus sepanjang hukuman tadi?”

“Satu-satunya hal yang ia lakukan adalah mengantuk. Tak ada obrolan apapun.”

“Seharusnya kau bertanya padanya, bagaimana caranya mendapat nilai bagus tanpa perlu belajar keras,” ide Jo tanpa berpikir panjang.

Dyo membesarkan matanya pada gadis itu. “Tak akan pernah, Jo. Sampai kiamat datang pun, aku tak akan pernah mengatakannya.”

“Kenapa kau sangat tidak menyukainya?” tanya Baekhyun heran setelah sekian lama menyimpan pertanyaan itu sendiri.

“Karena dia mendapat nilai bagus tanpa perlu usaha. Sementara aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai bagus.”

“Apa kau pernah mendengar seseorang berkata bahwa rasa tidak suka bisa menimbulkan rasa suka?” lagi-lagi Jo membuat teori abstrak yang mendapat kecaman dari Baekhyun dan Dyo terutama.

“Apa kau ingin mengatakan bahwa aku menyukai Irina?”

Baekhyun tertawa mendengar tutur kata Dyo yang membuat Jo merasa seperti virus bakteri. “Sudahlah, Yo. Kita semua tau bahwa Jo memiliki pemikiran yang berbeda dengan kita. Abaikan dia, maka hidupmu akan jauh lebih baik.”

Jo memukul pelan pundak Baekhyun. “Apa kau yakin? Bukankah karma itu berlaku? Kalian tak percaya padaku saat ini. Tapi jika apa yang kukatakan tadi menjadi nyata, kalian jangan lupa padaku.”

Masih, Baekhyun tertawa santai dan menganggap ancaman Jo bukanlah ancaman. Tapi wajah Dyo berubah tegang. Kadang kala, apa yang keluar dari mulut Jo, sering terjadi. Dan ia khawatir bahwa kalimat Jo barusan akan terjadi.

-=-

Dyo menatap toko roti dengan lambang tiga iris roti berwarna coklat dengan secangkir teh, yang disertai tulisan nama toko tersebut di depannya. Mata pria itu sedikit mengamati isi dalam toko dari luar, mencoba mencari tau pemandangan di dalam.

Tak sabar dengan rasa penasarannya sendiri, Dyo mendorong pintu toko tersebut. Untuk pertama kalinya ia berani datang ke sini setelah berbagai pertimbangan. Sekilas, ia melihat-lihat roti yang ada, mengambil salah satu yang terlihat cukup menarik, lantas membawanya ke kasir.

Antrian kasir panjang, cukup menghalangi Dyo dari sekitarnya. Dyo menimang ragu, entah mengapa firasatnya tak begitu baik. Hingga pada akhirnya, ia berdiri paling depan dengan sebungkus roti di genggamannya.

Seorang gadis, dengan seragam kasir, menekan layar sentuh di monitor kasir sembari menunduk. Ia mengucapkan salam sekilas pada Dyo masih sembari menunduk, mengambil plastik dari rak di sisinya.

Gadis itu mengangkat kepalanya untuk melihat Dyo. Dan Dyo pun melakukan hal yang sama. Sejenak, ketegangan terjadi ketika mata mereka beradu pandang.

“Irina?” panggil Dyo dengan rahang terjatuh.

Irina nampak tak siap. Ia tergagap sejenak dan mencoba berpura-pura tak ada masalah. “Hanya satu ini?” ujarnya sambil mengangkat roti yang Dyo bawa.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dyo cepat-cepat.

“Apa kau tak bisa melihatnya?” Irina berkata tanpa kejelasan. Gadis itu hanya menekan layar monitor, menyebutkan harga roti yang Dyo beli, lalu membungkusnya dengan plastik.

“Mengapa kau bekerja di sini?” tanya Dyo lagi dengan penuh rasa tak percaya. Ia belum puas karena Irina tak menjawabnya. Tetapi, antrian di belakang Dyo membuat pria itu mengalah dengan penasarannya.

Dyo berjalan gontai menuju pintu keluar. Otaknya masih sulit mencerna.

Irina memang bekerja sebagai kasir di toko roti tersebut. Dan apa yang Dyo pikir salah ketika beberapa hari lalu ia datang ke toko tersebut ternyata tidak salah.

-=-

Irina melipat seragam kerjanya setelah menggantinya dengan kaos dan celana panjang, lalu menjejalkannya ke dalam tas selempangnya, ikut tertimbun bersama buku pelajaran gadis itu. Ia mengambil jatah rotinya yang terbungkus kantong plastik dan lagi-lagi menjejalkannya ke dalam tas sekolahnya. Lantas Irina melangkah keluar dari toko dengan wajah menunduk dan rasa kantuk yang dalam.

Gadis itu terlonjak begitu mendapati seorang pria yang paling tak ingin ditemuinya saat ini berada di depan toko, bersandar di tembok toko yang dilapisi cat biru.

“Dyo?”

Dyo menoleh, lalu menghampiri Irina dengan tangan kiri yang diselipkan ke dalam saku celananya. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan dengan pekerjaanmu itu?”

“Bukankah aku yang seharusnya bertanya? Apa yang perbuat di sini? Apa kau mencari kelemahanku agar bisa mengalahkanku?” balas Irina sinis. “Seharusnya kau pulang ke rumah dan belajar agar bisa mendapat nilai yang lebih baik dariku,” lanjutnya lagi.

Panas memuncak di kepala Dyo. “Kau mengejekku? Kau pikir kau lebih pintar dariku?”

“Aku tak pernah berkata bahwa aku lebih pintar darimu. Kau sendiri yang membenciku hanya karena nilaiku lebih baik, itu pun sesekali. Apa kau mengerti rasanya dibenci?” Irina berhenti sejenak, menunggu jawaban Dyo. “Kau tak akan pernah mengerti rasanya dibenci. Tak ada yang membenci orang seperti dirimu. Sebaliknya, semua orang membenciku tanpa pernah memberi alasan yang jelas. Sama seperti apa yang kau lakukan padaku.”

“Aku tidak membencimu.”

“Sungguh? Dengan tatapan dingin yang selalu kau suguhkan padaku, dengan kata-kata penuh amarah yang kau gumamkan di sekitar diriku, dengan rasa tak suka yang sesekali kau buktikan padaku, kurasa cukup memberi petunjuk bahwa kau tak suka padaku. Kau ingin menjadi juara kelas, bukan? Ambilah, aku tak mau jadi juara dengan tatapan kebencian dari orang lain. Cukup orangtuaku yang membenciku.”

Kata-kata terakhir Irina membuat Dyo terguncang. “Orangtuamu membencimu?”

Tanpa jawaban, Irina berbalik dan berjalan menuju halte bis, meninggalkan Dyo yang masih terpaku di sana.

-=-

Hari sekolah seperti biasa, pelajaran seperti biasa, dan waktu berjalan seperti biasa. Tapi hari ini tidak biasa bagi Dyo. Pelajaran olahraga baru berakhir lima menit yang lalu, dan anak-anak berlarian menuju cafeteria sekolah untuk mengambil minum. Dyo sendiri sudah mengambil minum, sekaleng soda di tangan kanannya, dan satu kaleng lagi di tangan kirinya. Ia menimang sesaat, mencoba berpikir bahwa tindakan yang akan ia perbuat adalah benar.

Dyo berjalan menghampiri gadis yang duduk sendirian di salah satu meja cafeteria dan kepalanya tertutup di atas meja. Ia berdiri di samping gadis itu, tetapi tak disadari oleh gadis tersebut.

Memberanikan diri, Dyo berdeham.

Irina, gadis tersebut, membuka mata dan mengangkat kepalanya. Matanya menyipit, menyesuaikan diri dengan cahaya.

“Hai,” ujar Dyo kaku. Lebih kaku dari apapun di dunia ini.

Tangan kanan Dyo terulur, mencoba menawarkan kaleng soda pada Irina. Tanpa bicara, Irina mengambil kaleng soda itu dan membukannya.

“Maaf jika kemarin aku menyinggung perasaanmu. Aku tidak akan melakukannya lagi.”

Irina masih tak menjawab. Dan Dyo tak ambil pusing. Apa yang ia perlu sampaikan telah ia sampaikan. Dyo berbalik, hendak meninggalkan tempatnya berdiri. Tapi Irina memanggilnya dengan gumam pelan.

“Soal pekerjaanku, jangan ceritakan hal itu kepada siapapun. Apa kau bisa?”

Dyo mengangguk. “Tenang saja. Aku bukan pria berisik seperti Baekhyun.”

“Terima kasih.”

“Tak masalah. Aku bisa menyimpan rahasia dengan baik.”

“Bukan. Maksudku, terima kasih telah berbicara denganku.”

-=-

Tak ada rapat, tak ada catatan yang perlu dipinjam, Dyo bisa pulang ke rumah lebih awal hari ini. Ia hendak menunggu bis seperti biasa di halte, diiringi rasa was-was karena kemungkinan besar ia bertemu Irina lagi seperti kemarin. Dan benar saja, Irina ada di halte yang sama dengannya, menunggu bis. Tanpa kalimat sapa satu sama lain, mereka menggunakan bis yang sama, duduk bersebelahan di kursi kosong pojok belakang, dan memiliki destinasi yang hampir sama.

Dyo membuang muka ke arah jendela, tak peduli dengan orang di sampingnya. Bagi Dyo, di saat seperti ini, diam adalah emas. Tetapi, rasa tenang yang dimilikinya tidak lama bertahan. Irina menepuk lengan atas Dyo dan membuat pria itu menoleh.

“Apa kau tinggal dekat toko roti itu?” tanya Irina.

Menggeleng, Dyo menyahut, “Tidak. Rumah Baekhyun dekat dengan toko itu. Rumahku satu halte sesudah halte bis dekat toko tersebut.”

“Rumah Baekhyun?”

“Ya, aku sering meminjam catatan Jo. Kadang aku tidak mengikuti pelajaran karena harus menghadiri rapat organisasi siswa.”

“Jo tinggal bersama Baekhyun?”

“Ya. Tidak banyak yang tau.”

“Apa kalian bertiga sudah bersahabat sejak lama?”

Sejenak Dyo membetulkan posisi duduknya. “Lumayan. Aku dan Jo sudah saling mengenal sejak kecil. Kami mengenal Baekhyun saat usia kami tujuh tahun.”

“Apa Jo dan Baekhyun berpacaran?”

“Mereka-” Dyo berhenti mendadak dan mengubah pembicaraan, “mengapa kau ingin tau? Kau menyukai Baekhyun?” tebak pria itu cepat.

“Tidak. Hanya ingin tau.”

“Mereka tidak berpacaran. Mereka sahabat baik. Sama seperti aku dan Baekhyun, kami bersahabat baik.”

“Kalau begitu, apa kau dan Jo berpacaran?”

Dyo membesarkan matanya lekat-lekat, lalu bergidik takut sendiri. “Seandainya sekalipun ia dan aku bisa berpacaran, aku akan lebih memilih untuk berpacaran dengan Baekhyun daripada Jo. Dan untungnya, aku tak mungkin berpacaran dengan Jo. Dia sepupuku sendiri. Ibunya adalah saudara kembar ayahku.”

“Lalu, mengapa Jo malah tinggal bersama Baekhyun? Mengapa ia tak tinggal denganmu?”

“Kenapa kau sangat ingin bertanya tentang kami bertiga?”

“Aku ingin berteman dengan kau dan mereka. Setidaknya, di antara anak-anak sekelas, hanya kalian bertiga yang tidak pernah menggangguku secara langsung.”

Kepala Dyo mengingat beberapa insiden anak-anak kelas mereka yang sering mengganggu Irina. Hanya saja Irina tak pernah melawan, apalagi mengadukannya pada guru. Ia hanya duduk diam di kursinya sambil memasang wajah penuh kantuk seperti biasa.

“Jo tidak ingin tinggal denganku karena aku sering mengaturnya. Jangan bertanya tentang orangtua gadis itu. Mereka berada di luar kota dan tak menyadari bahwa putri tunggal mereka tinggal bersama orang yang bukan keluarganya.”

Hening kembali menguar di antara mereka berdua. Irina sepertinya kehabisan cadangan pertanyaan. Ia tak bertanya apa-apa lagi pada Dyo. Dyo pun kembali membuang mukanya ke arah jendela, membenci segala suasana tak nyaman itu.

“Aku turun di sini,” pamit Irina kemudian, lantas berdiri menuju pintu dan menghilang di balik pintu bis yang tertutup.

-=-

Esoknya, seperti biasa, Dyo datang ke sekolah dengan wajah datar. Ia melewati koridor kelas dan berjalan menuju kelasnya. Namun kali ini, ramai-ramai di dekat papan pengumuman sekolah membuat pria itu berhenti dan menoleh.

Sebuah kertas berupa foto-foto tertempel di sana. Semua anak tertawa-tawa melihat foto tersebut, beberapa di antaranya malah sibuk menceritakannya di media sosial. Tubuh Dyo yang sedikit pendek membuat dirinya tak bisa melihat foto tersebut. Akhirnya pria itu memutuskan untuk meninggalkan papan pengumuman dan kembali berjalan ke kelas.

Dari arah berlawanan, Baekhyun dan Jo berlari menghampiri Dyo dengan tergesa-gesa.

“Yo, kau harus lihat papan pengumuman. Sekarang,” ujar Jo cepat.

“Apa yang terjadi?” tanya Dyo bingung.

“Seseorang menempel foto-foto Irina di papan pengumuman. Dan semua foto itu membuktikan bahwa Irina bekerja sebagai kasir di sebuah toko roti dekat rumahku,” sahut Baekhyun.

Dyo melotot tak percaya. Ia berlari kembali ke papan pengumuman, berusaha masuk ke dalam keramaian itu, dan berhasil melihat foto-foto yang tertempel di sana dengan mata kepalanya sendiri. Benar kata Baekhyun, foto yang dimaksud memang ada di sana.

Dengan geram, Dyo mencabut semua foto tersebut diikuti dengan riuh rendah yang tak menyukai perbuatannya itu. Ia meremas semua foto di tangannya dan membalik tubuhnya, menghadap siswa-siswi yang ada di sana.

“Siapa yang memperbolehkan kalian menempel sesuka hati di papan ini?!” serunya lantang.

Tak ada yang menjawab.

“Aku akan meminta kepala sekolah menangkap pelakunya segera,” lanjut Dyo.

Seorang siswi dengan rambut coklat terurai membuka suara. “Mengapa kau membela gadis aneh itu? Jelas-jelas ia pantas menerimanya. Bukankah kau juga tak menyukainya?”

Mata Dyo berkilat marah. “Sekalipun kalian tidak menyukai kehadiran Irina, kalian tidak bisa melakukan ini. Ia tak memiliki salah apapun.”

“Ya, Dyo benar. Irina tak punya salah apapun. Kalian yang memberikan stigma dan label padanya. Kalian yang selalu mencari kesalahannya,” Jo mencoba membela saudaranya.

“Jangan membela Dyo karena ia saudaramu, Jo,” ujar siswi lain yang berwajah mengerikan. “Irina tak pernah memerhatikan pelajaran di sekolah, tetapi nilainya selalu bagus. Apa ia memberikan uang pada guru di sekolah untuk mendapat soal bocoran? Atau jangan-jangan, ia membawa contekan ketika ulangan.”

Jo nyaris saja menampar gadis itu bila Baekhyun tak menghentikannya. Sementara Dyo hanya terpaku di sana, seolah melihat dirinya sendiri dalam diri kerumunan itu.

Apa ia membenci Irina?

-=-

Irina sendirian di rooftop sekolah yang sejuk. Ia tak bisa memikirkan masalah foto tersebut karena terlalu lelah. Ia lelah menjadi orang yang dibenci, tidak disukai, tidak diinginkan, dan tidak dibutuhkan. Ia tak mengerti alasan semua orang tak menginginkannya.

Pintu rooftop terbuka dan Irina terlalu tak peduli bila sosok yang muncul itu ingin menyakitinya lagi. Sepertinya Irina sudah kebal.

“Apa kau baik-baik saja?”

Terkejut, gadis itu menoleh dan mendapati Dyo berdiri dekat pintu. Pria itu, seperti biasa, menyelipkan tangannya di saku celana dengan wajah datarnya.

“Aku tidak baik-baik saja. Apa kau yang menyebarkan kabar itu?”

“Aku? Tidak, aku tidak mengatakan tentang pekerjaanmu pada siapapun. Bahkan tidak kepada Baekhyun dan Jo.”

“Lalu, mengapa mereka bisa mengetahuinya?”

Dyo berjalan mendekati Irina. Rambut coklat pria itu berterbangan ditiup angin dan begitu pula dasinya. “Yang terpenting bukan mengapa mereka bisa mengetahuinya, tetapi bagaimana cara mereka menanggapinya.”

Lelah, Irina bersandar di tembok rooftop, lalu merosot ke lantai. Ia tak peduli bila seragamnya kotor, atau rambutnya kacau tertiup angin. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, mulai menangis.

“Pergilah, Yo. Aku ingin sendiri.”

“Kalau kau sendirian, tak ada yang bisa menjamin bahwa kau tak akan melompat dari sini.”

Tak menjawab, Irina masih menangis dalam kesendiriannya. Dyo membiarkan gadis itu menangis hingga puas, lalu menyodorkan sapu tangan dari saku celananya.

“Aku tak mengerti alasanmu berada di sini,” ujar Irina sambil meraih sapu tangan dari jemari Dyo. “Kau seharusnya berada di kelas, mengikuti pelajaran agar bisa mendapat nilai lebih bagus dariku.”

“Apa kau tengah memulai pertengkaran denganku?” balas Dyo. “Aku sedang tak ingin belajar. Anak-anak membuatku kesal saat ini. Lagipula, aku orang yang punya hati. Tak mungkin aku membiarkan sainganku menangis sedih sendirian.”

“Anak-anak akan membuat gossip tentangmu.”

“Baekhyun dan Jo bisa menangani itu semua. Mereka lebih menakutkan dari kepala sekolah.”

Irina sedikit tersenyum mendengar kalimat datar Dyo yang sebenarnya lucu. Ia berdiri, merapikan rambutnya, lalu mengembalikan sapu tangan Dyo. “Terima kasih.”

“Jangan berterima kasih pada sainganmu,” Dyo berucap sambil menarik sapu tangannya kembali.

Kembali, Irina mengatup mulutnya. “Apa aku masih sainganmu? Bukan temanmu?”

“Hanya bercanda. Kau temanku.”

-=-

Entah sejak kapan, dan entah bagaimana caranya, Dyo selalu menempel dengan Irina tiap kali berada di sekolah. Kadang, Jo dan Baekhyun gabung dengan mereka dan belajar bersama atau pergi bersama. Kadang kala mereka berkumpul di tempat Irina bekerja, atau kadang kala di rumah Baekhyun yang tak jauh dari sana.

Dyo berhasil meyakinkan anak-anak bahwa Irina adalah teman mereka juga. Setelah insiden foto anonim itu, tak ada lagi insiden lain yang mengikuti gadis itu. Dyo juga merasakan hal lain yang tiba-tiba datang pada dirinya. Ia tak lagi terobsesi terhadap nilai dan lebih mempedulikan nasib acara sekolah yang nyaris gagal karena ia hendak mengundurkan diri.

Hari itu, hari pertama acara sekolah, Dyo tampil bernyanyi di acara pembukaan sekolah. Para siswi menjerit tak terkira, memuji betapa kerennya si ketua acara itu. Untuk pertama kalinya, Dyo tampil bukan sebagai si juara kelas, tetapi sebagai anak berbakat bersuara emas. Irina, Baekhyun, dan Jo tak henti-hentinya memberi semangat selama Dyo bernyanyi sebuah lagu berbahasa Inggris –Open Arms, lagu kesukaan Dyo, Baekhyun, dan Jo selama masa remaja mereka –di panggung.

Selesai bernyanyi, pria itu turun dari panggung dan membiarkan pembawa acara mengambil alih prosesi selanjutnya. Ia menghampiri tiga kawannya yang langsung menyambutnya dengan gelak tawa.

“Suaramu tak kalah dari Baekhyun, Yo!” Jo berseru sambil menepuk bahu sepupunya itu.

“Kau harus lebih sering bernyanyi, Yo,” timpal Baekhyun.

“Aku tidak tau kalian sedang sarkas atau tidak, tapi terima kasih.”

“Hei, Baek, lihat!” Jo menunjuk beberapa penjual makanan yang ikut meramaikan acara. “Ayo ke sana!” imbuhnya sambil menarik tangan Baekhyun.

“Santai saja, Jo. Jangan menarik tanganku,” ujar Baekhyun mengikuti Jo meninggalkan Dyo berdua Irina.

Suasana aneh tercipta sepeninggal kedua orang berisik itu. Dyo hanya berjalan sambil mengamati stan makanan dan permainan yang ramai dikunjungi.

“Bagaimana suaraku tadi?” tanya Dyo akhirnya, menyerah dengan rasa sepi.

Irina agak terlihat bingung, tak menyangka akan ditanya. “Bagus. Sangat bagus.”

“Terima kasih.”

Kenapa canggung sekali? Sial, geram Dyo dalam hati.

“Apa kau mau ke stan permainan?” ajak Dyo sambil meraih tangan Irina.

Tekejut, gadis itu menarik tangannya sendiri, membuat Dyo merasa bersalah. “Ya, boleh.”

Kedua orang itu berjalan beriringan menuju stan permainan. Ada berbagai hadiah yang ditawarkan jika berhasil memenangkan permainan sederhana seperti melempar gelang. Dyo mengikuti permainan itu, melempar gelang ke salah satu boneka berbentuk beruang, dan memenangkan boneka tersebut. Ia mengambilnya, lalu menjulurkannya pada Irina.

“Ambilah, ini untukmu.”

“Terima kasih, Yo.”

“Jangan sampai rusak.”

Irina tertawa. “Ini pertama kalinya aku mendengar seseorang berkata ‘jangan sampai rusak’ ketika memberikan hadiah.”

Dyo nampak malu. “Kau mungkin tidak tau, tetapi Baekhyun dan Jo pernah berkata bahwa aku orang yang kaku. Jadi maaf bila aku membuatmu tidak nyaman.”

“Tidak. Bukan itu maksudku,” potong Irina cepat. “Kau sama sekali tidak membuatku tidak nyaman. Kau sangat baik, Yo. Kau peduli padaku, kau berusaha menolongku, dan kau sangat ramah padaku.”

“Apa aku membuatmu nyaman?”

“Iya. Maksudku, tidak begitu. Maksudku-” Irina bingung menjawab. “Kau membuatku nyaman dalam arti kau tidak membuatku terasingkan. Iya, begitu maksudku.”

Dyo tertawa, dan Irina dapat melihat bibir pria itu membentuk hati ketika tertawa.

“Kau gugup sekali. Jangan terlalu serius. Aku hanya bercanda.”

Irina memeluk boneka beruang di tangannya untuk mengusir kegugupannya. “Oh, kau hanya bercanda ya?”

“Apa kau berharap aku serius?”

Tak ada jawaban. Tapi Dyo bisa paham dengan sendirinya. Pria itu berkata, “Jika tadi itu serius, apa kau mau bersamaku?”

Mata Irina membesar sekejap. Ia mengedip  beberapa kali, mengira dirinya mengantuk dan salah dengar. Pelan, ia memberanikan diri untuk mengangguk.

Dyo tersenyum, mengusap rambut Irina perlahan, lalu berkata, “Kalau begitu, terima kasih.”

-=-

“Kau pernah bilang bahwa kau akan membelikan makan siang untukku bila Dyo dan Irina berpacaran. Apa kau ingat?” ujar Jo sambil mengadahkan tangan pada Baekhyun.

Baekhyun menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tak gatal. “Iya, tapi itu dulu, Jo. Anggap saja kau sudah lupa.”

Jo mendengus. “Aku akan membuatmu menderita bila kau tidak membelikanku makan siang, Byun Baekhyun!”

“Iya, iya, iya. Aku belikan sekarang,” buru-buru Baekhyun memotong kalimat sahabatnya. “Tetapi, kenapa mereka tiba-tiba sekali? Aku bahkan tidak menyadari bahwa Dyo menyukai Irina.”

“Kau tak akan pernah sadar kapan cinta datang, Baek. Cinta itu selalu tiba-tiba, tak terduga. Ketika kau sadar,” Jo menepuk tangannya sekali, “kau hanya mendengar nada-nada indah dalam duniamu.”

-End-

3 thoughts on “Unexpectedly”

  1. tadinya bc Without U dulu trus kek salah ternyata harus baca nie dulu wkwkwwkkkwkk… jadi de q baca ini khannn… then mnurt q tu manis bgt dan mengesankan bgt… semangat nulisnya kak.. keyen bgt kak.. wkwkwkwkwkkkwk q dukung kakak..

Leave a comment