Another Wish from Heaven

Another Wish from Heaven

| Oneshot |

| D.O. EXO, Jo |

| Sad, Romance |

-=-

Seperti biasa, saat aku tidak menyukai suatu pelajaran, aku melarikan diri ke taman sekolah yang terletak di belakang gedung sekolah. Aku duduk sendirian di kursi taman, memandang langit dari bawah pohon rindang yang membuatku merasa teduh.

Seperti saat ini, di taman sekolah itu, aku duduk menatap langit yang agak mendung. Mungkin sebentar lagi hujan. Tapi aku tak peduli sedikit pun. Yang penting, aku lari dari pelajaran membosankan itu dan bisa berpikir banyak hal dengan tenang.

“Berapa lama manusia akan hidup?” pikirku tanpa sadar.

“Menurutmu?”

Aku terlonjak kaget, mendengar ada orang lain yang menjawabku saat aku berpikir bahwa aku sendirian duduk di kursi taman itu.

“Kapan kau duduk di sini?” ujarku sambil menoleh pada pria di sampingku. “Aku tidak melihatmu datang ke tempat ini dan tidak merasakan kehadiranmu tadi.”

Pria itu nampak manis, dengan mata yang agak besar dan bibir berbentuk hati. Bahunya juga tidak terlalu tegap dan tubuhnya sangat kurus.

“Baru saja,” jawabnya. “Kau terlalu asyik melihat langit sehingga tak mempedulikan sekitarmu,” tambah pria itu sambil tertawa. “Siapa namamu?”

“Jo,” balasku. “Aku tak pernah melihatmu di sekolah…” kulirik name tag di kemeja seragamnya sejenak, “Do Kyungsoo. Apa kau anak baru di sini?”

“Aku?” tunjuknya pada dirinya sendiri. “Aku sudah sepuluh tahun di sini.”

“Lucu,” dengusku. “Hanya tiga tahun kau perlukan untuk menyelesaikan sekolah menengah atas. Sepuluh tahun sudah bisa menyelesaikan spesialis kedokteran.”

Kyungsoo tertawa dan menyahut, “Jangan terlalu serius, Jo. Kau masih muda. Hidupmu masih panjang, kan?”

“Dan sekarang kau berbicara seolah-olah kau sudah tua.”

“Aku memang sudah tua,” jawabnya setengah bergurau. “Kembali ke pertanyaan awal, menurutmu, berapa lama manusia akan hidup?”

“Entahlah. Tujuh puluh tahun… mungkin?”

“Menurutmu, setelah orang meninggal, apa yang mereka lakukan?”

“Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Aku belum pernah meninggal. Menurutmu?”

“Menurutku, mereka tetap di dunia ini. Mereka menunggu harapan yang mereka tinggalkan semasa hidup menjadi nyata. Setelah itu, mereka akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.”

“Hei, Do Kyungsoo. Kenapa obrolan ini jadi serius? Kau yang meminta padaku untuk tidak terlalu serius.”

“Kalau begitu, sekarang kita serius.”

Tertawa kecil, aku menyahut, “Kalau begitu, jika kau meninggal saat ini juga, apa keinginanmu yang belum terwujud?”

Kyungsoo menatap langit mendung yang semakin gelap. Ia menghela napas berat seolah berpikir dalam-dalam dan sungguh-sungguh.

“Sepertinya tidak ada,” ujar Kyungsoo pelan. “Seandainya saja aku meninggal satu jam yang lalu, mungkin aku akan masih menunggu di dunia ini. Tetapi, bila aku meninggal sekarang, aku tak akan menunggu lagi di dunia ini.”

“Tunggu,” ujarku kaget. “Apa keinginanmu yang belum terwujud tadinya?”

“Aku ingin bertemu kembali dengan orang yang kucintai. Sebuah cinta pada pandangan pertama, tetapi aku tak bisa menemukan orang itu lagi.”

Mendengar pernyataan itu, aku berpikir dan menggabungkan semuanya jadi satu.

“Jadi, kau ingin bilang bahwa kau sudah menemukannya kembali?”

“Ya,” jawabnya pelan sambil tersenyum lemah padaku. “Dan, hei… lihat ke atas, Jo. Langit menangis.”

“Itu hujan,” balasku datar.

Tapi Kyungsoo menggeleng.

“Tidak ada hujan jika langit tak menangis. Apa kau tahu artinya?”

Aku menggeleng pelan.

“TIdak tahu, Kyungsoo.”

“Itu berarti… seseorang sedang menangis untukmu,” bisiknya seperti angin.

Di saat bersamaan, setetes air hujan jatuh ke mataku. Aku mengedip beberapa kali, lalu menoleh untuk menatap Kyungsoo.

Tetapi, tak ada satu orang pun di sana. Aku hanya sendirian di taman itu, merasakan hujan yang semakin deras.

-=-

Aku masuk ke kelasku dengan kacau. Separuh dari diriku dibasahi air hujan akibat terlalu lama berada di taman sekolah. Aku terlalu takut untuk tetap di taman. Seperti ada hal lain yang menemaniku di sana. Meski begitu, aku lebih suka menyebutnya sebagai mimpi atau halusinasi.

Tanganku mengibas kemejaku dan mataku mendapati sesuatu yang janggal di sana. Tidak ada name tag yang dicetak di seragamku. Aku langsung menatap sekelilingku, melihat seragam teman-temanku buru-buru. Begitu pula seragam mereka, tak ada name tag apapun di sana. Benar-benar ada yang salah dengan Do Kyungsoo, si pria yang kutemui di taman belakang sekolah itu.

“Mark,” panggilku pada temanku yang kebetulan melintas di depanku. “Apa dulu anak-anak sekolah ini memiliki name tag yang dicetak di seragam mereka?”

“Terakhir kali seragam itu diproduksi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kenapa tiba-tiba kau-”

‘Aku sudah sepuluh tahun di sini.’

Jantungku berdetak tak karuan mengingat ucapan Kyungsoo saat di taman tadi.

“Thanks, Mark!”

Aku melesat meninggalkan Mark dan lari ke perpustakaan. Aku langsung mendekati rak buku berisi yearbook dari tahun ke tahun. Kuambil yearbook lulusan sepuluh tahun lalu dan membuka halaman demi halaman. Hingga aku sampai ke salah satu halaman yang membuatku hampir gila.

Wajah seorang pria yang tertawa manis, dengan sepasang mata besarnya dan bibirnya berbentuk hati, serta bahunya yang tak terlalu tegap dan badan kurusnya. Gambar hiasan lilin menghiasi foto pria itu dan sebuah tulisan tegak bersambung tercetak di bawah foto itu.

Do Kyungsoo

12 Januari 1988

A hero is someone who has given his life to something bigger than oneself

Sebuah potongan berita tentang pahlawan bernama Do Kyungsoo pun ada di sana. Sebuah kecelakaan tragis menimpa anak muda yang berusaha menyelamatkan seorang gadis kecil yang nyaris jadi korban. Kyungsoo melemparkan dirinya, menyelamatkan gadis itu dan membiarkan dirinya mengalami kecelakaan.

Aku memegang yearbook itu dengan tangan bergetar. Duniaku seperti hilang, gelap tiba-tiba.

-=-

Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku berada di sebuah rumah sakit. Buku yearbook sepuluh tahun lalu itu tergeletak di sampingku, entah siapa yang mengijinkan buku itu keluar dari perpustakaan sekolahku.

“Kau sudah sadar?” ibuku tiba-tiba muncul, membuatku paranoid. “Kau tidak melepaskan buku itu dalam keadaan pingsan sekalipun. Apa kau mencari Kyungsoo?”

“Ibu kenal Kyungsoo?”

“Tentu saja. Ibu tak mungkin melupakan pahlawan muda yang menyelamatkanmu. Ia koma sejak sepuluh tahun yang lalu.”

“Kenapa… ibu tak pernah mengatakan tentangnya padaku?”

“Karena ibu pikir… ibu pikir kau akan merasa bersalah jika ibu mengatakannya.”

“Tapi orang itu mengalami koma… dan… ia masih hidup… dan… dan…”

Kepalaku semakin pusing, mencoba menyatukan fakta dan berita yang kubaca maupun kudengar. Belum sempat aku berkata-kata, pintu ruang rawatku terbuka pelan. Seorang wanita yang nampak lebih tua sedikit dari ibuku pun muncul.

“Apa dia ini Jo?” tanya wanita itu lembut pada ibuku.

Ibuku nampak sedih sejenak, lalu mengangguk. Wanita yang baru masuk itu menatapku dengan wajah sedih pula, dan mengambil yearbook dari tanganku.

“Selama ini, anakku menunggumu,” ujar wanita itu sambil membuka halaman dengan foto Kyungsoo yang sangat manis. “Kyungsoo, anakku yang menyedihkan itu, ia menantimu dalam tidur panjangnya selama sepuluh tahun,” tambahnya sembari membelai foto itu.

Aku bangun dari kasur, duduk tak berdaya dan menatap foto Kyungsoo.

“Aku bertemu Kyungsoo di sekolah.”

Wanita itu, ibu Kyungsoo, tersenyum hangat dan mengusap bahuku.

“Aku percaya, Jo. Akhir-akhir ini kondisi putraku naik turun tanpa sebab. Selama sepuluh tahun, baru akhir-akhir ini keadaan menjadi aneh. Mungkin, ia mencarimu.”

“Kenapa… aku?” tanyaku terlalu lemah untuk terkejut.

“Ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari itu, saat ia menyelamatkanmu, ia telah jatuh cinta padamu. Karena itu ia menyelamatkanmu.”

“Apa itu mungkin? Aku masih anak-anak saat itu.”

“Aku juga tak mengerti. Tetapi hingga saat ini, aku tahu mengapa ia belum rela pergi dan menderita dalam komanya.”

“Ada keinginannya yang belum terwujud,” ujarku tanpa sadar.

“Ya, benar. Satu-satunya keinginannya adalah-”

“Bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang hilang.”

-=-

Do Kyungsoo, pahlawan muda itu dirawat di sana juga. Aku masuk ke ruangannya yang nampak suram dan menyedihkan. Selama sepuluh tahun menanti dalam kesepian dan kesendirian tanpa pernah mengatakan apapun pasti membuatnya sedih. Aku bisa melihat Kyungsoo yang terpejam, nampak seperti orang yang tidur nyenyak. Hanya ada satu infus di tangannya, tidak ada selang-selang alat bantu apapun yang berlebihan.

Awalnya, ibunya meminta dokter untuk menghentikan alat bantu hidup agar pria itu melepas rasa sakitnya di dunia. Tetapi, seperti belum ingin pergi, Kyungsoo bertahan dalam keadaan koma saat semua alat ditarik dari dirinya. Saat itulah ibunya menyesali keputusannya dan membiarkan Kyungsoo menanti selama sepuluh tahun.

Aku bisa melihat bibir hatinya meski ia tak tersenyum dan matanya terpejam damai. Rambut pria itu agak panjang, mungkin karena tak pernah dipotong lagi. Aku langsung teringat dengan wajah manisnya saat kami bertemu di sekolah. Dan tiba-tiba saja, aku dirundung rasa sedih panjang.

“Do Kyungsoo…” panggilku lemah, begitu pelan seolah hanya surga yang tahu. “Maaf, aku tidak pernah datang ke sini. Seharusnya aku mengungkapkan rasa terima kasihku lebih cepat, kan? Agar kau tidak kesepian dan menderita seperti ini.”

Kurasakan air mataku membasahi wajahku, dan tanganku tanpa sadara menyentuh jemarinya yang kaku tanpa kehidupan.

“Malam itu, kau menyelamatkanku dari kecelakaan. Aku seharusnya berada di posisimu saat ini. Atau mungkin aku sudah tidak ada. Tapi kau tidak membiarkan hal itu terjadi.”

Entah perasaanku saja atau bukan, tangan Kyungsoo terasa begitu hangat dalam peganganku. Aku rasa, Kyungsoo mendengarkanku dengan baik. Ia hanya tak bisa meresponku dengan nyata.

“Kau menunggu cinta pertamamu, kan?” ujarku pelan. “Aku juga baru menemukannya. Aku baru saja merasakan cinta pertamaku. Seorang pria manis dengan sepasang mata besarnya, bibirnya yang berbentuk hati, dan jangan lupakan bahunya yang agak rendah, serta tubuhnya yang kurus.”

Lalu aku tertawa getir, sangat perih ketika rasa sakit itu menjulur ke hatiku.

“Pria itu memakai name tag bertuliskan Do Kyungsoo. Pria itu kau,” tambahku lagi.

Hujan deras turun dan aku bisa melihatnya dari jendela. Kata-kata Kyungsoo seperti terngiang di telingaku, tentang arti hujan. Seseorang menangis untukku, dan aku tak perlu bertanya lagi siapa orangnya.

“Do Kyungsoo, apa kau bersembunyi di balik awan dan menangis?” tanyaku sedih. “Atau jangan-jangan, aku adalah orang yang menangis paling keras saat ini.”

Kyungsoo tak merespon dengan kata-kata. Satu-satunya yang kutahu sebagai responnya adalah kulitnya yang mulai kehilangan kehangatan itu.

“Do Kyungsoo,” bisikku pelan. “Terima kasih banyak. Terima kasih sudah menyelamatkanku.”

Ada tangis mengalir di wajah Kyungsoo, dan aku tahu itu air matanya sendiri. Tangan pria itu semakin dingin ketika aku menambahkan kalimat terakhirku untuknya.

“Dan terima kasih sudah membalas cintaku, Do Kyungsoo. Kau bisa pergi sekarang. Jangan menunggu apapun lagi. Tersenyumlah, Kyungsoo.”

-End-

(Catatan tambahan: tahun lahir Kyungsoo diubah jadi 1988 agar masuk akal dalam cerita ini.)

2 thoughts on “Another Wish from Heaven”

Leave a comment