Tokyo

Tokyo.jpg

A warm love story in Tokyo for your winter.

With Ishikawa’s and Yamato’s

Tokyo mulai menyentuh musim dingin ketika bulan November sudah mendekati akhir. Kedua kakiku hampir membeku meski sudah menggunakan celana panjang yang sangat tebal dan sepatu kulit. Bahkan angin dingin masih menyentuh helaian rambut panjangku yang kusembunyikan dalam beanie merah. Matahari tidak muncul hari ini, sampai detik ini, pukul lima sore. Dalam keadaan itu, aku masih saja berdiri di depan Todai, menunggu seseorang.

“Hei, Jitsuko!”

Sembari menggigil, aku menoleh karena panggilan itu. Suara pria yang sejak tadi kunantikan akhirnya terdengar juga. Ingin sekali aku marah-marah karena setengah jam sudah kubuang sia-sia demi pria berambut ikal itu.

“Astaga,” desisku kesal. “Kau ingin membunuhku, ya?”

Pria itu berlari ke arahku sambil berusaha tersenyum. Terengah, asap putih mengepul keluar dari mulutnya. Ia, sama sepertiku, memakai sebuah beanie. Bedanya, warnanya biru, menutup keningnya dan hampir menyentuh kacamata tebalnya. Sebuah tas kamera hitam terselempangkan di tubuhnya, menambah bebannya saat berjalan.

Sumimasen,” katanya meminta maaf dengan pelan, masih terengah. “Tadi ada mahasiswaku yang meminta bantuan untuk asistensi tugas. Aku tidak bisa meninggalkannya. Kawaisōna kare.”

Mendengar itu, aku tidak jadi marah. Sudah hampir delapan tahun aku mengenalnya, Ishikawa Seto. Dia terlalu baik, tidak bisa meninggalkan orang lain yang membutuhkan bantuannya. Setelah menjadi dosen, salah satu prioritasnya adalah membantu mahasiswanya di Todai, alias University of Tokyo. Bukan hanya menjadi alumni terbaik Todai, Seto juga menjadi dosen favorit di sana.

“Jadi, apa alasanmu mengajakku bertemu hari ini? Jika tidak ada sesuatu yang penting, bukankah fitur chat di handphone masih ada? Selain itu, kita tinggal bersama. Kau bisa mengatakannya nanti malam saat kita sama-sama di rumah.”

 “Kalau tidak penting, aku tidak akan menyuruhmu ke sini, Jitsuko.”

Aku mengenal Seto sejak usiaku di awal dua puluh tahun. Kami satu jurusan, sama-sama lulus dari jurusan arts and sciences Todai. Kami berteman baik dan sering mengerjakan proyek bersama. Ia seorang cinematographer, pandai membuat film dan mengambil foto. Sementara aku seorang penulis, kerap kali menyelesaikan naskah untuk film pendek yang akhirnya dikerjakan oleh Seto. Selama mengenal Seto, ia jarang merepotkanku seperti ini.

“Jadi, apa masalahmu?”

“Kau mau menikah denganku, tidak?”

Nani? Hah?”

Hanya reaksi singkat, sebuah kebingungan yang berujung pada asap putih menyembur keluar dari mulutku. Kupandang Seto dari ujung kepala hingga ujung kaki, mencoba mencari makna dari pertanyaan tak beralasannya barusan.

“Maksudmu, kau ingin mengajakku ke acara pernikahan temanmu? Siapa lagi temanmu yang menikah kali ini?”

Kami sudah berada di penghujung usia dua puluh tahun. Tahun depan aku bahkan masuk ke tiga puluh tahun. Seto sedikit lebih beruntung karena ia lebih muda setahun persis dariku. Masih ada dua tahun baginya untuk mempersiapkan diri menuju usia tiga puluh tahun. Di usia-usia seperti ini, undangan pernikahan sering mampir ke apartment kami. Beberapa teman-teman kami yang sebaya akan menikah di akhir tahun ini.

Nai. Bukan,” geleng Seto. “Aku mau mengajakmu menikah.”

Aku jadi semakin bingung. Orang ini, benar-benar keterlaluan. Kalau dia menyuruhku jauh-jauh bergerak dari apartment ke Todai hanya untuk mengerjaiku, lebih baik tidak usah. Kadang kala, bercandanya Seto bisa keterlaluan dan terlampau niat.

“Kau mau mengajakku menikah?”

Hai. Iya. Apa itu sulit dimengerti?”

Dia tertawa, mengira ini lucu. Tapi aku tidak tertawa, masih berusaha mencari letak lucunya. Maksudku, seorang Ishikawa Seto baru saja mengajak seorang Yamato Jitsuko, teman dekatnya sejak delapan tahun lalu, untuk menikah. Apa ia kekurangan ide bercanda?

“Sebentar,” kataku panik. “Apa ini efek dari banyaknya undangan pernikahan yang datang ke apartment kita?”

Seto tertawa, menganggap ucapanku barusan lucu. Tapi tadi aku serius. Seratus persen serius. Maksudku, bukankah rencana menikah adalah sesuatu yang serius?

“Bisa jadi,” katanya santai. “Tapi, Jitsuko, apa kau tidak pernah berpikir untuk menikah? Usiamu sudah hampir tiga puluh tahun. Teman-teman kita sudah mulai mempunyai anak. Apa kau tidak ingin merasakan hal yang sama?”

“Aku akan menikah dengan seseorang yang bisa kunikahi,” jawabku kemudian. “Seseorang yang terbukti bisa hidup denganku dan aku bisa hidup dengannya.”

“Siapa lagi orang seperti itu di dunia ini kalau bukan aku?” Seto bertanya balik.

Aku jadi berpikir, mencoba menelusuri segala hal yang sudah kulewati bersama Seto sejak kami kuliah. Kami kerja di bidang yang sama, sudah hidup bersama sejak kami lulus lima tahun yang lalu, aku tahu betul cara hidupnya sebagaimana ia tahu betul cara hidupku. Tapi bukan berarti aku bisa menikahi seseorang seperti dia. Dia bahkan bukan pacarku.

“Kau aneh. Salah makan sesuatu, ya?”

“Tidak. Aku hanya mencoba menjadi realistis.”

Sambil menggeleng tak percaya, aku berjalan meninggalkan Seto di tempatnya. Daripada membuang waktu mendengarkan celoteh tak jelasnya, kuputuskan untuk pulang. Butuh waktu lima belas menit berjalan kaki dari Todai ke Stasiun Ueno-hirokoji. Apartment kami berada di sebuah area bernama Asakusa, sekitar setengah jam dengan kereta cepat. Di belakangku, aku tahu Seto mengikuti berjalan kaki dan mencoba menyamakan langkahnya denganku.

“Bagaimana kegiatan mengajarmu hari ini?”

Aku mengalihkan topik pembicaraan, berharap Seto mengikuti arah pembicaraanku. Kulihat, ia tersenyum sampai kedua sudut bibirnya nyaris menyentuh kacamata tebalnya.

“Seperti biasa, membahas marketing film dengan anak-anak muda itu. Mereka sempat bertanya mengapa aku mengambil Master di bidang marketing padahal sebenarnya aku seorang lulusan seni.”

“Mereka belum tahu kalau pada akhirnya semua hal akan berujung pada pemasaran,” kataku sambil tersenyum kecil. “Bagaimana iklan baru National Museum yang kau kerjakan?”

“Sedang dalam proses uji coba. Mereka ingin membuat iklan yang sedikit berbeda dari iklan sebelumnya. Konsepnya sangat bagus, tapi tidak mudah untuk direalisasikan.”

Kami membahas berbagai hal, mulai dari pekerjaan hingga suka dan duka yang kami lewati sepanjang hari itu. Musim dingin membuat hari terlalu cepat berlalu. Orang-orang berlalu-lalang terburu-buru di stasiun, melarikan diri dari dingin. Seto dan aku berdiri berdampingan di peron, menunggu kereta tiba.

“Sebentar lagi hari kau ulang tahun,” kataku tiba-tiba.

“Ya, dan tidak lama setelahnya, ulang tahunmu.”

Sebuah ketidaksengajaan, Seto dan aku berulangtahun di bulan yang sama, Desember. Kami selalu merayakan ulang tahun berdua, membuat semua momen bahagiaku dihabiskan bersamanya. Musim dingin menjadi lebih hangat setiap kali kami menghabiskan waktu berdua. Setidaknya, aku tidak kesepian di Tokyo saat kedua orangtuaku jauh di Osaka. Begitu pula Seto, kedua orangtuanya jarang menjenguk Seto karena kampung halamannya sangat jauh, di Fukoka.

“Apa yang kau harapkan tahun ini?”

Pertanyaanku terpotong oleh kereta yang datang. Kami menghentikan obrolan, bergegas naik ke gerbong kereta dan mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan, ada satu tempat duduk kosong. Aku duduk di sana, sementara Seto berdiri di depanku sambil berpegangan pada tiang penyangga.

“Tadi kau bertanya harapanku tahun ini,” kata dia tiba-tiba.

“Oh? Oh, iya,” kataku sambil tertawa bodoh. “Jadi, apa yang kau inginkan tahun ini? Mungkin aku bisa membelikannya sebagai hadiah untukmu.”

“Aku tidak berharap banyak. Kita berdua bahagia seperti ini, itu sudah lebih dari cukup.”

“Sederhana sekali,” ucapku. “Tidak ingin headset baru atau laptop baru?”

“Kau sendiri? Tidak ingin handphone baru?” Seto bertanya sambil tertawa. “Seingatku, layar handphone milikmu pecah setelah jatuh di ruang makan waktu itu.”

“Jangan mengingatkanku pada hal itu lagi.”

Seperti biasa, berbagai hal kami bicarakan selama perjalanan pulang. Sudah menjadi rutinitas sejak lima tahun lalu. Bedanya, sekarang kami lebih tua dari waktu itu. Sampai di Stasiun Asakusa, kami berjalan kaki sepuluh menit menuju apartment sembari menahan dingin.

“Aku masih ingin mengajakmu menikah,” kata Seto saat kami berjalan pulang.

Meringis, kuabaikan ucapan Seto dan berjalan duluan. Kami naik lift ke lantai sepuluh, tempat unit kami berada. Berjalan di koridor sebentar, kami mencapai depan pintu unit kami. Tanganku menekan angka-angka password dan pintu terbuka.

“Jangan bicara terlalu ringan tentang pernikahan,” kataku begitu kami masuk ke tempat tinggal kami. “Kau harus menemukan wanita yang baik, menjalin kasih, baru menikahinya. Bukan tiba-tiba mengajakku menikah karena tak ada pilihan. Kau masih punya waktu, Seto.”

“Tapi sejujurnya, aku memang tak ada pilihan,” kata Seto. “Aku menghabiskan delapan tahun denganmu. Lima tahun aku tinggal bersaamamu. Aku bisa dan mau hidup denganmu. Kau tahu segalanya tentang aku, Jitsuko.”

“Itu karena aku teman baikmu.”

“Apa yang lebih menyenangkan dari menikahi teman baikmu sendiri?”

Pertanyaan Seto membuatku terdiam. Aku berpikir, mencari jawaban dari pertanyaannya barusan. Benar, dia benar. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari menikahi seorang teman baik. Maksudku, siapa yang bisa menyakiti teman baiknya? Tidak ada. Tidak ada yang mau.

“Tidak ada,” jawabku pelan, akhirnya mengakui kalau Seto benar. “Kau benar.”

“Orangtuaku suka padamu, begitu pula sebaliknya. Aku tahu cara hidupmu, dan kau tahu cara hidupku. Kita bertengkar lalu berdamai tidak lama kemudian. Kita saling menyayangi dan peduli satu sama lain. Kita punya ketertarikan yang sama, bekerja di bidang yang sama, bahkan sering mempunyai proyek bersama. Rasanya aku ingin menghabiskan lebih banyak tahun denganmu, Jitsuko.”

Kuhela napas, tidak percaya bahwa hari ini Seto akan tiga kali mengajakku menikah, kurang dari tiga jam. Masih merasa lelah dan belum memikirkan jawaban, aku berjalan ke kamar dan hendak membersihkan diri. Seperti biasa, aku mandi duluan dan membiarkan Seto menunggu sambil mengurus pekerjaannya di ruang tidur.

“Apa menurutmu itu ide bagus?”

Aku bertanya pada Seto saat aku berjalan keluar dari kamar mandi. Kulihat, Seto mengambil piyamaku di lemari dan memberikannya padaku. Aku memakai piyama itu, membiarkan rambut panjangku terurai membasahi bajuku. Seto menyadari hal itu, langsung mengambil handuk dan membantuku mengeringkan rambut.

“Tentu saja,” jawabnya. “Dingin, tidak?” Seto bertanya balik, membicarakan hal lain.

“Sangat,” anggukku. “Kau sebaiknya mandi. Semakin malam akan semakin dingin.”

Menurut, pria itu menghabiskan lima menit di kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Aku tengah tiduran di kasur, meski memejamkan mata, tahu betul kapan saat Seto keluar dari kamar mandi sambil separuh menggigil.

“Tertarik untuk menikah denganku?” Seto bertanya lagi, membuatku jengah.

Pura-pura tertidur, aku meringkuk di dalam selimut. Tapi ternyata, Seto tahu bahwa aku tidak benar-benar tertidur. Ia sengaja melompat ke kasur, membuat aku terguncang dan berdecak kesal. Setelah lama hidup denganku, Seto tahu hal-hal yang kubenci dan sengaja melakukannya untuk menarik perhatianku jika aku mengabaikan dia.

“Belum tertarik,” ujarku bergumam. “Mungkin lain kali.”

Ia tertawa, membiarkanku memunggunginya dan meringkuk. Jika sudah seperti itu, Seto akan memelukku dari belakang, membuatku merasa hangat. Tangannya membelai rambutku dengan lembut sampai aku merasa nyaman untuk tertidur. Terakhir, untuk melengkapi momen sebelum tidur kami, ia mengusap rambutku hati-hati.

“Kalau kau berubah pikiran, beritahu aku, Jitsuko.”

Aku berbalik, berhadapan dengannya. Kami berpelukan seperti biasa, merasakan detak jantung satu sama lain. Seto mendekatkan wajahnya padaku dan mencium pipiku lembut. Ia tersenyum kecil saat aku membuka mata, menatapnya lembut. Hati-hati, aku membalas ciumannya dengan satu kecupan mesra di bibirnya.

“Ayo,” kataku pelan, lalu mencium bibirnya lagi.

Nani? Apa?” Seto bertanya bingung.

“Menikah. Ayo kita menikah,” jawabku.

Seto menatapku tidak percaya. Wajahnya kaget, mungkin terkejut karena aku berubah pikiran secepat itu. Pelan-pelan, ekspresi kagetnya berubah menjadi bahagia. Ia tersenyum cerah, bahkan memperlihatkan semua deretan giginya.

“Sungguh?” Seto tertawa keras. “Terima kasih, Jitsuko. Aku janji, kau akan selalu bahagia denganku. Tidak akan pernah ada satu hari pun aku menyakitimu. Kau tahu itu, ‘kan?”

“Aku tahu. Kau tenang saja, Seto.”

Hari itu, kami tidur dengan perasaan yang lebih bahagia dari biasanya. Mungkin ia mengajakku menikah tanpa cincin atau bunga. Ia mengajakku menikah seperti mengajakku ke minimarket dekat apartment. Tapi tidak masalah. Bagiku, menikah dengannya semudah pergi ke minimarket dekat tempat tinggal kami. Tidak sulit, dan tidak ada yang perlu dibuat sulit.

Aku, Yamato Jitsuko, bahagia bersama teman baikku, Ishikawa Seto.

-Selesai-

6 thoughts on “Tokyo”

  1. Wahhh aku sampe senyum senyum sendirii bacanya…. jadii berimajinasii 🥰🥰🥰
    Semangatt teruss JBU😁

Leave a comment