Heaven [4/]

1024x768 - Copy (1)

Bagian Empat

Cerita Menyakitkan

Akhir pekan datang. Kantor management tutup tiap Sabtu dan Minggu. Aku membuat janji dengan Wish, hendak bertemu perempuan itu di salah satu restoran favoritnya. Ia ingin mendengar ceritaku di Heaven. Akhirnya, hari ini, aku tidak perlu menggunakan pakaian formal.

“Jadi kau memecahkan satu kasus dan berhasil membuat nama baik Heaven bertahan selama satu minggu ini?” Wish bertanya sambil mengaduk minumannya.

“Jangan membuat ini terdengar seperti cerita detektif, Wish,” sahutku. “Ini sama sekali bukan kasus. Ini hanya masalah… keluarga.”

Aku bercerita tentang betapa lemahnya tubuhku setelah kejadian itu. Aku baru sadar, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ikut campur dalam urusan kematian dan kehidupan. Tubuhku jadi sedikit lemah, mungkin karena menyalahgunakan kemampuanku itu.

“Mungkin ini memang takdirmu. Maksudku, tidak mungkin kau diberikan kemampuan tersebut jika tak ada gunanya,” pikir Wish kemudian. “Apa kau merasa lega setelah melakukan hal yang kau anggap benar?”

“Lega, sekaligus takut. Takut kalau nantinya, harapan-harapan itu akan semakin mengejarku dan berteriak putus asa.”

Wish tersenyum sebelum menepuk bahuku beberapa kali. Ia menatapku seolah-olah aku adalah anaknya yang baru saja melakukan sesuatu membanggakan.

“Percayalah, aku bangga padamu, Nat.”

“Wish!”

Aku terkejut, mendegar suara berat seorang pria memanggil nama Wish. Kulihat, Wish juga kaget, memutar kepalanya untuk mencari pemilik suara itu. Kami mendapati seorang pria di dekat pintu masuk, melangkah ke arah kami sambil memanggil Wish lagi.

“O-o-om Mateo?!” Wish gelagapan, kaget bukan main.

“Bapak Mateo?” Aku ikutan bingung.

“Ikut aku sekarang, Wish,” kata paman Wish itu tiba-tiba, dengan nada yang sangat suram. “Golden meninggal dunia tadi pagi. Ia disemayamkan di Heaven sekarang.”

Wish terkejut bukan main. Ia sampai menutup mulutnya dengan tangan karena tak percaya dengan kabar barusan. Tangannya bergetar, hendak mengambil minuman miliknya. Tapi ia tidak bisa melakukannya karena otaknya tak berhasil mengontrol tangannya sendiri.

“K-kenapa… tiba-tiba sekali…”

“Serangan jantung,” kata Bapak Mateo.

Kulihat, Wish menelan ludah tak percaya. Mungkin ia mengenal baik orang yang disebut sebagai Golden itu. Mungkin juga, orang tersebut meninggal di usia yang sangat muda. Atau mungkin, ia tak punya tanda-tanda akan pergi secepat ini.

“Om…, Nat boleh ikut, ya?” Wish tiba-tiba meminta.

“Untuk apa membawa dia, Wish?”

“Kita pasti membutuhkan dia, Om. Kematiannya terlalu mendadak.”

“Apa hubungannya, Wish?” Bapak Mateo bertanya lagi.

“Pasti ada harapannya yang belum terwujud,” kata Wish dengan mata berkaca-kaca. “Kita harus mencari tahu harapannya yang belum terwujud agar Golden bisa tenang.”

“Kau… percaya kalau anak ini bisa mendengar suara harapan orang meninggal?! Jangan bercanda, Wish! Kau bukan anak kecil. Ini bukan dongeng.”

“Kumohon, Om!” Wish merengek akhirnya, sebelum benar-benar menangis.

Bapak Mateo menghela napas, menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku tahu, keadaanku tidak layak untuk dibawa ke pemakaman. Maksudku, aku memakai setelan bling-bling emas perak yang gemerlap seperti lampu disko. Antinganku panjang menjuntai ke bawah, kerlap-kerlip di bawah sinar lampu. Sepatu tinggiku berpadu asyik dengan pakaianku. Dibandingkan ke pemakaman, aku lebih pantas pergi ke club dan memesan cocktail.

“Baiklah. Kau pergi ke Heaven sekarang. Aku akan membawa Nat ke toko baju terdekat untuk mengganti pakaiannya dulu. Dia tidak bisa ke sana dalam keadaan seperti ini,” kata Bapak Mateo akhirnya.

“Tidak perlu, Pak. Aku bisa pulang dan-”

“Tidak ada waktu,” potong Bapak Mateo. “Ayo, kita jalan sekarang.”

-=-

Aku tidak mengenal orang itu, hanya tahu. Namanya Golden Maritzka. Tentu saja itu bukan nama aslinya. Orangtua macam apa yang akan menamai anak laki-lakinya dengan nama semacam itu. Itu bahkan lebih mirip nama latin spesies sayur-sayuran dibanding nama manusia. Itu nama yang dibuat oleh pemiliknya sendiri, saat ia memutuskan untuk terjun ke dunia fashion dan menjadi desainer ternama di negara ini.

“Saudara-saudari, Tuhan berfirman…”

Aku menguap. Baju baru yang kukenakan ini membuatku semakin muram dengan warna hitamnya. Setidaknya, aku lebih pantas untuk melayat dengan baju begini.

‘Anakku…’

Suara pemimpin ibadah dan suara-suara lain mengelilingiku, saling bersahutan sampai aku tidak tahu siapa yang mengatakan apa. Bagi semua orang, rumah duka adalah tempat yang sunyi, sepi, sakral. Tapi bagiku, ini lebih ribut dari pasar.

‘Aku masih ingin hidup… Kenapa aku mati sekarang?’

‘Jangan pergi… Jangan tinggalkan aku sendirian. Di sini gelap…’

‘Aku ingin melihat anakku…, Cintaku…’

‘Seseorang membunuhku, tapi ia masih hidup bebas sampai sekarang…’

‘Jangan percaya mereka. Suamiku sendiri yang mengambil harta itu…’

Astaga, kenapa berisik sekali? Akhir-akhir ini terlalu banyak kematian yang tidak wajar mungkin. Tapi sudahlah, kupejamkan mata, pura-pura tak mendengar. Saat kubuka mata, aku melihat foto Golden, desainer yang meninggal dunia itu. Cukup muda, usianya baru empat puluh tahun. Ia sudah menjadi seorang CEO dari Farben Group, sebuah clothing line termahal kota ini. Golden masih single, dan gosip mengatakan dia gay.

“Aku mengenalnya sejak kecil. Ia salah satu senior di kampusku,” kata Bapak Mateo tiba-tiba. “Ia selalu tertarik pada bisnis, terutama bisnis fashion. Keluargaku cukup dekat dengan keluarganya. Bahkan Wish sering menggunakan pakaian dari clothing line miliknya.”

“Dia punya riwayat serangan jantung?” Aku bertanya pelan.

“Entahlah. Ia tak pernah cerita apa-apa.”

“Dia tidak punya anak?”

“Jangan membuat gosip,” katanya cepat. “Dia single.”

Single bukan berarti tidak punya anak, ‘kan? Bagaimana dengan kekasih?”

“Dia single, Nat. Apa itu kurang jelas?”

Aku ingat, beberapa kali ia disebut sebagai penyuka sesama jenis. Meski Golden tidak pernah mengatakan demikian, beberapa media menyebutnya sebagai gay. Aku tidak tahu mengapa Golden tidak pernah meralat pernyataan itu atau memberikan klarifikasi.

“Aku benci melihat temanku tidak bisa menjadi dirinya sendiri,” kata Bapak Mateo. “Hidupnya selalu di bawah tekanan media. Semua orang ingin tahu tentang masalah pribadinya. Ia hampir tidak punya privasi.”

‘Seandainya bisa, aku ingin memperkenalkanmu pada dunia…’

“Hidup menjadi public figure pasti seperti itu,” kataku akhirnya.

‘Seandainya dunia bisa melihatmu…, Sayangku…’

Aku yakin barusan itu suara harapan Golden di sana. Tapi, aku tidak menemukan petunjuk apa-apa tentang harapan itu. Siapa yang ingin dikenalkannya pada dunia? Kekasihnya? Partner hidupnya? Atau… kekasih sesama jenisnya?

‘Aku begitu mencintaimu, Sayangku…’

‘Cinta dalam hidupku…’

“Quiniea,” panggilku secara acak dan tiba-tiba.

Suaraku barusan cukup keras, membuat beberapa orang menoleh padaku. Yang lebih konyolnya lagi, Bapak Mateo menatapku seolah aku ini sangat aneh. Tapi mungkin benar. Aku aneh, berteriak tanpa alasan di sebuah rumah duka.

“Berisik,” bisik Bapak Mateo separuh mendesis. “Apa yang kau lakukan?”

“Maaf,” kataku malu sembari menunduk.

Perlahan, orang-orang mulai mengabaikanku, kecuali seseorang yang ada di tempat duduk dekat pintu. Orang itu memakai topi fedora hitam, jaket tebal, celana panjang kulit, dan masker untuk menutup mulutnya. Ia menatapku tapi buru-buru membuang muka. Sungguh penampilan yang aneh.

“Apa yang kau lakukan?” Bapak Mateo menatapku heran.

“Tidak ada. Hanya… -Hei!” Aku tersentak.

Orang yang kulihati sejak tadi tiba-tiba berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Ia berjalan cepat ke arah pintu keluar dan pura-pura tidak melihatku. Tanpa kata-kata, aku menarik tangan Bapak Mateo dan mengikuti orang tersebut keluar dari ruangan.

“Hei, kau gila?” Bapak Mateo bertanya kesal.

“Ikut aku,” pintaku cepat. “Aku mendengar suara teman Bapak. Katanya, ada seseorang yang sangat ia cintai dan ingin diperkenalkannya pada dunia.”

“Apa?” Bapak Mateo menatapku heran. “Seseorang? Dia punya kekasih?”

“Mungkin,” sahutku sambil mengangkat bahu. “Ya apapun itu, kita kejar dia sekarang.”

“Siapa?! Siapa, sih, yang kau maksud itu?!” Om Mateo berkata gemas.

“Quiniea. Orang itu terus disebut dalam harapan Golden. Aku yakin, jika ia begitu penting hingga dibawa oleh ingatan temanmu sampai meninggal, orang itu pasti muncul di sini.”

“Jadi kau hanya memanggil namanya secara random kalau-kalau ia muncul di-”

“Dia muncul di sini,” potongku sambil menunjuk orang yang kuikuti.

Kami berjalan berdua, lebih tepatnya mungkin aku menariknya keluar. Bapak Mateo pasti sekarang mengira aku adalah orang tergila di dunia ini. Tapi aku tak peduli. Hari ini, aku akan membuktikan padanya kalau aku tidak hanya aneh, tapi juga pintar menggunakan keanehanku untuk hal-hal bermanfaat.

“Kau yakin?” Bapak Mateo berbisik lagi.

“Yakin. Lihat ya,” balasku sambil bersiap memanggil orang itu. “Hei, hei, permisi, halo?” Aku memanggil, tapi orang itu tetap tidak menoleh.

Yakin, seratus persen, orang itu pura-pura tidak mendengarku. Suaraku cukup keras, kok. Bahkan Bapak Mateo pasti akan memarahiku sebentar lagi karena berteriak-teriak tak jelas di rumah duka tempat temannya berada sekarang.

“Kau pasti salah orang,” kata Bapak Mateo sambil menarikku, menghentikanku untuk mengikuti orang yang kucurigai.

“Tidak. Aku yakin dia kekasihnya Golden.”

“Dia terlihat seperti laki-laki, Nat.”

“Lalu? Bapak takut kalau apa yang dikatakan media itu benar?”

“Kau gila, Nat?”

Aku mengabaikan rasa kesal yang diperlihatkan Bapak Mateo padaku. Kutinggalkan dia dan kukejar orang itu kembali. Aku tidak berusaha memanggilnya lagi. Kali ini aku berlari mengejarnya, membuat orang itu menoleh padaku. Bukannya berhenti, orang itu malah mempercepat langkahnya dan- Hei! Dia berlari menuruni tangga.

“Hei! Berhenti! Aku mengejarmu dan kau berlari? Jangan bercanda! Heiii…!!”

Aku terus berteriak sembari ikut menuruni tangga. Kecepatanku kini menjadi berlari. Semakin dekat dengan orang itu, aku berusaha meraih tangannya. Tanpa mempedulikan Bapak Mateo yang berusaha mengejarku, aku menarik tangan orang itu dan membalik badannya. Tidak seperti dugaanku, orang tersebut terlalu cepat menyerah dan agak lemah. Ia langsung berbalik dan berhadapan muka denganku.

“Apa yang kau lakukan?” Katanya padaku.

Aku terdiam kaget. Tubuhku membeku. Mulutku membulat dan mataku membesar. Dia seorang… perempuan? Jadi, Golden bukan gay?

“Kau… Quiniea?” Aku bertanya kaget.

“Bukan. Dan aku tidak mengenalmu.”

“Ya, tentu saja kau tidak mengenalku,” jawabku.

Ia berbalik, hendak berjalan lagi. Tapi ada yang menghentikannya. Bapak Mateo, entah sejak kapan, sudah ada di sampingku dan memegang tangan perempuan itu erat-erat, membuat perempuan tersebut tidak bisa bergerak lagi.

“Kau… Quiniea?” Bapak Mateo bertanya.

Perempuan muda itu menatap kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wajahnya sangat cantik, dan kuperkirakan usianya baru tujuh belas tahun. Paling tua, mungkin dua puluh tahun. Ia masih terlihat muda layaknya bocah. Sekarang, kalau kantor berita mendengar ini, berita gay tentang Golden akan berubah menjadi berita cinta beda usia.

“Kau… pacarnya… Golden?” Aku bertanya.

“Bukan,” jawab perempuan itu sambil menggeleng. “Aku tidak kenal Golden.”

“Kau… Quiniea, ‘kan?” Aku mengulangi.

“Bukan!” Perempuan itu agak berteriak. “Aku bukan Quiniea.”

“Lalu, kenapa kau… menghindariku?” Aku bertanya lagi. “Kau aneh!”

“Aku tidak aneh. Aku hanya… penasaran,” tandas perempuan itu padaku. “Aku hanya ingin tahu, siapa orang yang berani-beraninya memunculkan aku di dunia ini tanpa tanggung jawab. Ternyata… orang tersebut sudah meninggal.”

Ia menghempaskan tangan Bapak Mateo dan pergi dari hadapan kami. Bapak Mateo menjadi semakin bingung. Aku tidak mampu berkata-kata lagi ketika kulihat perempuan itu semakin jauh. Kepalaku begitu pusing. Suara yang kudengar semakin keras dan menyakitiku. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa.

“Dia… apa-apaan dia?” Bapak Mateo bertanya padaku dengan kesal. “Kau salah mengenali orang, ‘kan? Kau yang salah, ‘kan?”

“Tidak… tidak mungkin,” bisikku pelan.

Kepalaku semakin pusing. Aku ingin berteriak menyerukan segala jenis umpatan dan amarah. Kenapa suara-suara ini selalu menggangguku? Napasku semakin sesak. Sepertinya oksigen di otakku menipis. Aku menunduk, menyangga badanku dengan cara meletakkan tangan di lutut. Aku berusaha bernapas, tidak menyadari bahwa Bapak Mateo menatapku heran.

“Kenapa kau…?”

“Aku… aku… tidak bisa… bernapas…”

“Kau sakit?”

Kuabaikan Bapak Mateo. Ia tidak membantu sama sekali. Setidaknya menurutku. Ada sesuatu yang berbisik-bisik di telingaku. Ini membuat kepalaku semakin sakit. Aku ingin berteriak. Teriakan itu sudah ada di ujung mulutku. Lidahku terasa sakit. Aku ingin memanggil nama itu, nama yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

“Sasha!” Aku berseru. “Kenapa kau tidak mendekati peti mati Golden?! Kau ingin mengenalinya, ‘kan?! Seharusnya kau ada di sampingnya, Sahsa!”

Perempuan itu berbalik. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca dan penuh emosi. Dengan cepat, ia berjalan seolah ingin menyerangku. Tangannya diangkat ke bahuku, menyuruhku berdiri tegak. Tingginya yang tidak beda jauh denganku membuat aku bisa melihatnya tepat di mata basahnya.

“Bagaimana. Kau. Tahu. Namaku?”

Sasha, perempuan itu, mendesis marah dan tidak percaya. Ia mencengkeram bahuku erat-erat, membuat sakit di sekujur tubuhku bertambah.

“Ibumu… mengatakannya padaku,” jawabku pelan.

Dengan cepat, Sasha menarik tanda pengenal yang tergantung di leherku. Ia membacanya sekilas dan menatap wajahku. Entah apa yang ada di pikiran Sasha saat ia membandingkan wajahku dengan foto di kartu tanda pengenalku. Foto sialan itu bahkan kuambil saat tidak siap berpose. Staff yang memotretku terlalu malas untuk mengulanginya lagi.

“Pembohong,” katanya sambil tersenyum sinis. “Kau staff Heaven? Apa kau menyuruh seseorang untuk melacakku? Ibuku meninggal saat melahirkan aku sendirian.”

“Kau tahu bahwa Golden punya alasan ketika ia meninggalkanmu sendirian.”

“Dia problematic,” tandas Sasha tegas. “Dia punya kekasih lain.”

“Tidak. Bukan begitu,” gelengku cepat. “Kau salah, Sasha. Dia menamaimu Sasha, nama yang sama dengan wanita yang paling dicintainya di dunia ini. Golden ingin selalu bersamamu, tapi dia tidak bisa.”

“Ya, karena dia lebih mencintai karirnya daripada aku, putrinya. Ayah macam apa yang tega-teganya melakukan hal itu? Benar-benar sangat… menjijikkan.”

Aku bisa melihat kebencian menyala di mata Sasha, perempuan muda itu. Seberapa pun aku berusaha untuk meyakinkan Sasha bahwa Golden tidak bermaksud meninggalkannya, Sasha tidak akan percaya padaku.

“Kalau kau terus berpikir seperti itu, ia akan sangat terluka,” kataku akhirnya.

Menyerah, aku menghela napas. Sasha sudah siap meninggalkan aku, berbalik dan hendak menjauh dari tempat kami berdiri. Aku putus asa, lebih putus asa dibanding suara-suara yang mengikutiku. Tidak ada keinginan untuk memanggil nama Sasha lagi.

“Sudah? Hanya seperti itu saja?” Bapak Mateo menatapku tak percaya. “Kau tidak ada plan cadangan? Aku tidak percaya kau menyerah secepat itu,” katanya. “Sasha!”

Di luar dugaan, seruan itu keluar dari mulut Bapak Mateo. Ia berlari, mengejar Sasha dan meninggalkan aku yang membeku di tempat. Bapak Mateo tampak sangat tergesa-gesa. Entah mengapa, ia punya kekuatan untuk mengejar perempuan itu.

“Hei! Dia tidak percaya pada-”

“Aku tidak peduli,” potong Bapak Mateo mengabaikan aku. “Sasha! Berhenti!”

Sasha benar-benar berhenti. Ia menoleh, menatap wajah Bapak Mateo dengan kesal. Sepertinya, kali ini Bapak Mateo bertukar peran denganku menjadi orang yang paling aneh sedunia ini. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu. Jika Bapak Mateo bertekad demikian, artinya ia percaya padaku. Itu membuatku buru-buru berlari, menghampiri Bapak Mateo dan Sasha.

“Kau pikir, bagaimana mungkin dia tahu namamu dan nama wanita yang paling dicintai oleh Golden?!” Bapak Mateo berseru. “Dia mendengarnya sendiri dari Golden.”

“Pembohong! Kalian pasti berdiskusi untuk melakukan ini, ‘kan?”

“Apa untungnya, Sasha?!” Aku setengah berseru. “Ayahmu… maksudku, ibumu… maksudku… Golden… Apa kau pernah tahu bahwa ayah dan ibumu adalah orang yang sama?”

Air mataku menetes saat aku mengatakan hal itu. Kata-kata barusan bukan kata-kataku. Aku, secara tanpa sadar, mengucapkan apa yang kudengar saat itu. Bapak Mateo menatapku tak percaya. Jangankan dia, aku pun tak percaya dengan apa yang barusan kudengar dan kukatakan.

“A-apa? Kau barusan… apa yang kau… katakan, Nat?”

“Golden terlahir sebagai perempuan. Apa Bapak tidak pernah tahu? Nama aslinya Quiniea Sasha. Nama itu… sama persis dengan namamu, Sasha,” kataku akhirnya.

“A-apa?” Sasha berbisik kaget.

“Kau tidak pernah tahu, ‘kan? Ia begitu menginginkan seorang anak sampai-sampai ia memutuskan untuk menerima donor sperma dan mengandung dirimu. Golden melahirkanmu, membiayai hidupmu dari kau lahir sampai sekarang. Dari kejauhan, ia melihatmu tumbuh besar menjadi wanita cantik yang begitu mirip dengannya. Kau tidak pernah tahu itu, ‘kan?”

Tanpa kumengerti, air mataku jatuh ke pipi. Bisik pelan di telingaku itu begitu menyedihkan. Aku lemas, ingin jatuh berlutut dan menangisi Golden. Aku tidak mengenal orang itu. Aku kasihan mendengar ceritanya. Sangat menyedihkan.

“Kenapa… dia melahirkan aku kalau dia tidak bisa membesarkan aku? Seharusnya dari awal dia tidak perlu melahirkan aku ke dunia ini.”

“Kau tidak mengerti,” bisikku pelan. “Dia benar-benar menyayangi dirimu. Tapi, jika dia membesarkanmu sendiri, apa kau bisa menerima keadaannya? Kau, seorang anak kecil yang masih penuh emosi dan labil, tentu saja kau tidak akan bisa menerimanya.”

“Aku bisa!”

“Tidak!” Aku menggeleng tegas. “Kau tidak bisa. Aku bahkan tidak yakin bahwa kau bisa menerima hal itu sekarang. Aku tanya padamu, apa kau bisa menerimanya?! Aku tanya padamu sekali lagi, Sasha!”

Aku bisa melihat rasa tidak percaya memenuhi dirinya. Air mata menumpuk di kelopak matanya. Bibirnya gemetar, begitu pula jemari-jemarinya. Sasha masih kecil, ia tak ubahnya remaja yang belum siap menerima berita semacam ini. Aku tahu, bukan hanya gadis itu yang tak siap. Seluruh dunia ini tidak akan siap menerima kenyataannya.

“Kau… serius, Nat?” Bapak Mateo berbisik pelan, gemetar.

Sepertinya, bukan hanya Sasha yang tidak bisa menerima kenyataan itu. Atasanku ini juga pasti masih belum bisa menerima kenyataannya. Aku paham, ini bukan hal mudah untuk diterima. Aku juga masih belum bisa mencernanya dengan baik.

“Aku serius,” kataku. “Itu bukan kata-kataku. Itu kata-kata sahabat Bapak. Aku hanya mengatakannya pada anak ini,” tunjukku pada Sasha. “Kenapa karya-karya Golden selama ini begitu indah dan fantastis? Sasha, putrinya, anak yang ia lahirkan tanpa sempat ia besarkan, adalah inspirasinya.”

“Kenapa dia mengubah jenis kelaminnya?” Bapak Mateo bertanya padaku, masih dengan rasa shock yang mengalir di seluruh sel tubuhnya. “Aku… tidak mengerti.”

“Dia terlahir sebagai perempuan. Tapi jiwanya laki-laki. Suatu ketika, ia begitu menginginkan anak yang dapat diberikannya segalanya. Kasih sayang, cinta, perhatian, uang, ketenaran, semuanya yang ia punya. Karena itulah ia memutuskan untuk mempunyai anak,” kataku pelan. “Ketika ia sudah melahirkan Sasha, Golden baru menyadari satu hal yang penting. Sasha tidak akan bisa menerima dirinya. Itu membuat Golden patah hati. Ia meninggalkan Sasha pada keluarga kerabat yang ia percayai.”

“Kau… mengarang cerita?” Sasha bertanya lemah padaku.

“Untuk?” Aku tertawa getir. “Aku bahkan tidak mengenal dia.”

Aku mulai menangis sesenggukan. Entah bagaimana, seperti menonton sebuah film, ada kenangan-kenangan yang kubayangkan sendiri. Kenangan tentang Golden yang berjuang keras melahirkan Sasha, sampai ketika Golden harus meninggalkan anaknya. Ia menyaksikan anaknya tumbuh dari kejauhan, memberikannya uang dan harta benda yang dibutuhkan Sasha tanpa pernah diketahui anak itu.

“Kau… bohong,” bisik Sasha. “Kau pembohong. Itu semua tidak benar, ‘kan?”

Sasha mulai menangis. Ia jatuh berlutut di lantai dan menangis sangat keras. Bapak Mateo panik karena aku dan Sasha menangis seperti orang gila. Kami membuat semua orang tertarik untuk mendekat dan mencari tahu.

“Satu hal yang pasti,” kataku. “Ia berpesan, kau harus tumbuh dengan baik dan harus bahagia. Tidak perlu menangisinya. Melihatmu dari jauh saja sudah membuat dia bahagia. Ingat itu, Sasha,” tutupku akhirnya.

-=-

Kasus itu selesai akhirnya, diiringi tangis penyesalan dan jeritan perih. Aku membuang muka, berusaha mengabaikan suara-suara lain yang kudengar di tempat itu. Selalu begitu, seperti neraka tempat semua harapan-harapan itu berkumpul, ada begitu banyak suara di tempat itu. Kupejamkan mata, tapi tak bisa kupejamkan telingaku. Saat kubuka mata, ada sosok Bapak Mateo dari kejauhan, menatap kosong pada taman bunga yang begitu indah. Perlahan, kuhampiri dia karena penasaran.

‘Aku ingin menceritakan dongeng itu lagi padamu, Nak. Tapi ayahmu melarangku untuk berjumpa dirimu. Bukan aku yang benci padamu…’

Bapak Mateo berdiri tegap di hadapan taman bunga itu. Tangannya mengatup di belakang tubuh, seolah enggan melakukan sesuatu dengan kedua tangannya. Aku semakin mendekatinya. Seiring langkahku itu, suara rintihan tadi semakin jelas terdengar. Dari sekian banyak suara-suara tak terdengar yang kudengar, ada satu suara paling kencang di sana.

‘Anakku! Anakku! Aku ingin melihat anakku!’

Tubuhku menjadi kaku. Telingaku rasanya tuli dan berdengung kencang. Teriakan-teriakan tadi menakutiku. Ini menjadi semakin mengerikan. Napasku memburu, aku terengah dan gemetar hebat. Kepalaku pusing bukan main dan pandangan mataku menjadi kabur. Samar-samar, sebelum aku terjatuh ke aspal, aku melihat seseorang berlari ke arahku dan memanggil namaku dengan kencang.

“Nat!”

Lalu semuanya gelap. Lagi.

-=-

Aku membuka mata perlahan-lahan, melihat warna putih di sekelilingku. Sepintas, aku sudah tahu kalau lagi-lagi aku masuk rumah sakit. Kadang, saat terlalu banyak mendengar suara-suara itu, tubuhku jadi melemah. Ini bukan baru satu kali terjadi. Baik Wish, Arry, juga Vay sudah tahu tentang hal ini.

“Apa kabar, Nat?”

Suara itu mengagetkanku. Aku memiringkan kepala sedikit, melihat sesosok pria memakai kacamata di sampingku. Bapak Mateo rupanya, menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan maknanya.

“Nat? Sudah bangun?!” Itu suara Wish. Aku tahu betul suaranya.

“Wish?” Aku berbisik pelan.

Saat aku hendak bangun, kepalaku tambah pusing. Aku meringis sejenak, tidak jadi bangun dari posisi tiduranku.

“Kau benar tidak apa-apa?” Wish bertanya lagi. “Apa di sini terlalu berisik?”

Pertanyaan Wish tadi membuat Bapak Mateo bingung. Rumah sakit adalah tempat yang sepi seharusnya. Tapi bagiku, rumah sakit adalah salah satu tempat yang sangat kuhindari.

“Lumayan,” kataku lemah.

“Kau ingin pulang?” Wish bertanya lagi, dan aku mengangguk kecil.

“Jika aku tahu sejak awal bahwa kau adalah orang yang sakit-sakitan, mungkin aku tidak akan menerimamu bekerja di sini. Baru seminggu bekerja di Heaven, kau sudah dua kali pingsan. Berapa kali kau akan pingsan dalam setahun?”

Wish menyikut pamannya dan menatap Om Mateo tajam. Ia berdecak kecil, mungkin kesal karena orang itu tidak punya perasaan.

“Dalam seminggu, aku sudah menyelesaikan dua masalah. Satu, masalah pemilik pabrik rokok kaya raya yang punya keributan keluarga, dan dua, sahabat Bapak,” jawabku akhirnya. “Mulai saat ini, sebaiknya Bapak tidak terlalu semena-mena padaku dan lebih memerhatikanku. Suka atau tidak suka, kurasa Bapak akan terus berurusan denganku mulai detik ini.”

“Itu barusan… ancaman?” Bapak Mateo bertanya.

“Bukan,” kataku sembari tersenyum. “Itu pemberitahuan.”

-bersambung-

Leave a comment