Finding Mr. Right

Finding Mr. Right.jpg

| Oneshot |

| Kyuhyun X Hyunrae |

| Romance, Life, Friendship |

Weimar, Jerman

Musim gugur menelan semua kenangan yang bisa kuingat tentang Kyuhyun. Ia tidak ubahnya seperti musim gugur itu sendiri. Begitu teduh, agak hangat, sekaligus membuatku terjebak dalam rasa sedih yang tidak ada batasnya.

“Hyunrae-ya, kalau memang cintamu pada Leeteuk tidak berbalas, jangan sedih. Aku sudah bilang berkali-kali, ia dan dirimu tidak mungkin bersama. Dia bukan orang yang tepat untukmu.”

Itu salah satu kalimat yang Kyuhyun katakan padaku sebelum aku pindah ke Weimar, kota tempat tinggal Goethe dan Schiller, para figur terkemuka dunia literatur dari Jerman. Kyuhyun sudah mengingatkanku berkali-kali bahwa jatuh cinta pada Leeteuk punya resiko sakit hati yang besar. Leeteuk, senior Kyuhyun di sekolah dulu, punya prioritas lain selain cinta.

“Hyunrae-ya, kenapa kau tidak jatuh cinta padaku saja? Leeteuk bukan orang yang tepat untukmu, Hyunrae-ya.”

Bukan barang sekali dua kali Kyuhyun berkata begitu. Kami satu sekolah sejak usia kami lima tahun, sejak ia pindah ke rumahku. Cerita panjang dan melelahkan harus kukatakan pada Kyuhyun demi menolak pernyataannya. Kubilang, kami tidak mungkin bersama karena secara cepat, dapat ditarik kesimpulan bahwa Kyuhyun adalah pamanku.

“Aku bukan pamanmu. Ibumu hanya menganggap aku seperti adiknya sendiri.”

Kadang aku ingin marah pada ibuku. Bagaimana ia bisa merawat dan membesarkan anak seniornya dengan menganggapnya sebagai adik?! Orang tua Kyuhyun adalah senior ibuku di tempat kerja. Mereka meninggal karena kecelakaan tragis, menyisakan Kyuhyun yang baru berusia lima tahun. Konyolnya, ibuku tidak menganggap Kyuhyun sebagai anaknya, melainkan sebagai adiknya.

“Nuna tidak akan keberatan kalau aku menjagamu selamanya.”

Aku ingin teriak keras-keras. Tapi buru-buru kutahan suara itu karena aku sedang ada di rumah waktu itu, tepatnya di kamarku, membereskan koper-koperku dua minggu sebelum keberangkatanku ke Weimar. Kyuhyun ada di sana, menemaniku membereskan barang-barangku sambil mencoret-coret checklist barang-barang yang seharusnya tidak dicoret-coret asal-asalan seperti yang ia lakukan.

“Bisakah kau tetap di sini, Hyunrae-ya? Jangan berangkat ke Weimar. Kuliah di Seoul saja bersamaku. Apa tidak bisa seperti itu?”

Sejujurnya, aku ingin mengatakan padanya bahwa alasanku pergi ke Weimar adalah ingin jauh dari ingatan akan Leeteuk. Aku lelah dengan cinta bertepuk sebelah tangan ini dan ingin melupakannya. Hatiku hancur tiap kali menghampiri tempat-tempat yang menyimpan kenanganku akan Leeteuk.

“Aku mencintaimu, Hyunrae-ya. Apa kau tidak tahu itu?”

Gilanya lagi, ibuku tidak berusaha menghentikan Kyuhyun dan menganggap Kyuhyun hanya bercanda. Terakhir kali aku mendengar pernyataan cintanya secara langsung adalah di bandara, sebelum keberangkatanku. Kyuhyun satu-satunya yang bisa mengantarku hari itu.

“Kalau kau merasa lelah, kau bisa pulang kapan saja. Dan aku akan masih tetap mencintaimu saat kau kembali.”

Hari itu rasanya berat sekali. Jika biasanya aku akan mendengus tiap kali Kyuhyun berkata tentang cinta, aku tidak bisa melakukannya di hari perpisahan kami. Panggilan dari pengeras suara bandara sudah diulang berkali-kali, membuatku mau tak mau melepasnya. Ia hampir menangis ketika aku berbalik. Dan aku tahu, ia pasti menangis ketika aku hilang dari hadapannya.

-=-

Guten Tag, Frau Cho,” sapa Frau Weber, pengurus rumah yang bekerja di tempat tinggalku. “Ada surat undangan untuk Anda di meja makan. Mungkin Herr Beucke menemukannya di kotak pos saat membersihkan taman tadi pagi.”

“Baiklah. Danke, Frau Weber,” balasku. “Apa Anda akan kembali ke Berlin saat libur musim dingin nanti?” aku bertanya sambil mengunci pintu kamarku.

Ja, tentu saja. Aku akan merayakan Natal di Berlin.”

Aku tertawa kecil melihat jawaban antusias wanita tua itu. Ia pamit setelah menunjukkan surat undangan yang kuterima di meja makan. Setelah ia berlalu, kuambil surat untukku itu dan membaca tulisan di amplopnya. Huruf Hangeul langsung terasa familiar bagiku saat kubaca amplop itu. Dengan buru-buru, kubuka amplop tersebut.

“Undangan pernikahan.”

Dan mataku membesar saat membaca nama di undangan itu, tak percaya bahwa setelah tiga tahun berlalu, nama tersebut kembali lagi padaku. Kubaca berulang kali nama pengantin pria yang tertulis di undangan tersebut, merasakan hatiku hancur dan jatuh ke tanah dalam kondisi berantakan.

-=-

Aku duduk di alun-alun Kota Weimar sambil menatap patung Goethe dan Schiller yang sedang berjabat tangan. Patung ini adalah salah satu simbol Kota Weimar yang tidak terlalu besar. Kota tua tersebut memang sepi, tidak terlalu ramai karena jumlah penduduknya tidak banyak.

“Nuna bilang, tidak apa-apa kalau aku ingin menikahimu.”

Suara Kyuhyun di masa lalu kami membuatku menelan ludah. Kata-kata itu seperti sebuah pukulan telak yang membangunkanku. Mungkin benar bahwa ibuku membiarkan saja jika Kyuhyun ingin menikahiku. Dia bukan paman kandungku. Dia hanya seseorang yang ibuku kenal dari seniornya.

“Aku ingin menikahimu. Itu cita-citaku di masa depan.”

Masa depan? Masa depan siapa? Apa aku masih punya masa depan jika aku seperti ini terus. Tanganku malah mengeluarkan undangan pernikahan dari saku dalam coat biruku. Mataku masih berkaca-kaca, membaca nama yang tertulis di undangan tersebut.

“Cho Kyuhyun,” pikirku tanpa sadar. “Apa kau bisa mendengarku sekarang?”

Mataku buram, tetapi aku tak ingin menangis di tempat umum seperti orang gila. Buru-buru kuangkat kepalaku, ingin menahan tangis. Hanya saja, dalam keadaan tidak teratur seperti itu, aku malah menangkap bayangan Kyuhyun di sela-sela air mataku. Kupikir aku berhalusinasi, sudah gila karena ternyata rindu pada Kyuhyun.

“Hyunrae-ya…,” panggil seseorang.

Kukedipkan mataku berkali-kali dan air mataku jatuh. Saat itu pula, kurasakan kelambu yang menutupi mataku terbuka lebar. Aku melihat seorang laki-laki dengan coat hitam panjang tengah berdiri beberapa meter dari tempatku duduk. Ia tersenyum hangat, berlari ke arahku. Refleks aku berdiri dan memeluknya erat-erat saat ia menghampiriku.

“Cho Hyunrae…,” panggilnya lagi padaku.

“Cho Kyuhyun,” jawabku sambil terisak. “Cho Kyuhyun, bagaimana ini… bagaimana ini…,” aku terisak-isak dalam pelukannya.

“Iya, aku tahu, Hyunrae-ya. Aku tahu kau akan seperti ini. Karena itu aku datang ke sini.”

Tangisku pecah dan tanganku meremas undangan pernikahan di tanganku. Leeteuk dan seorang wanita yang tidak kukenal akan menikah, menghancurkan hatiku lagi dan lagi seolah beberapa tahun yang lalu tidak cukup dengan menolakku.

-=-

“Kau mau kentang?” Kyuhyun bertanya padaku yang sudah bengkak di mata, terlalu banyak menangis di depan patung Goethe dan Schiller. “Sekilas kau seperti seorang penulis besar yang merasa mendapat inspirasi setelah melihat patung penulis besar seperti Goethe dan Schiller.”

Kyuhyun selalu seperti itu, berusaha mengalihkanku dari hal-hal yang membuatku sedih dengan bercanda. Tapi masalahnya, candaan dia kebanyakan aneh dan tidak masuk akal. Seperti yang barusan dikatakannya itu, aneh dan tidak masuk akal.

“Aku tidak mau kentang.”

“Sayang sekali. Kentang itu adalah salah satu makanan khas Thuringia. Aku sudah jauh-jauh ke Weimar untuk mengunjungimu. Setidaknya kau harus traktir aku makanan di sini.”

“Aku tidak mood melakukan apa-apa.”

“Karena Leeteuk? Sudah kubilang, dia bukan orang yang tepat untukmu.”

Aku kesal karena Kyuhyun lagi-lagi tak bisa menutup mulutnya. Segera, aku berdiri dari tempat dudukku dan berjalan jauh-jauh.

“Hei, Cho Hyunrae! Jangan tinggalkan aku! Aku tidak tahu jalan.”

“Kalau kau tidak tahu jalan, bagaimana bisa kau menemukanku?”

Kyuhyun tersadar, lalu tertawa kecil. Ia menatap sekelilingnya dan menatapku lagi.

“Entahlah. Mungkin takdir.”

“Tidak ada takdir.”

“Yang tidak ada adalah takdir antara kau dan Leeteuk.”

Aku terdiam karena Kyuhyun kembali membahas itu. Ia malah tertawa santai sambil memasukkan tangannya ke saku coat saat angin berhembus.

“Apa masksudmu, di antara kita, takdir itu ada?”

“Ada,” angguk Kyuhyun. “Dan takdir itu dimulai sejak usia kita lima tahun. Dari semua pria di dunia ini, hanya satu orang yang paling tepat untukmu, Cho Hyunrae.”

“Aku tak mau dengar.”

“Kau harus dengar,” Kyuhyun terkekeh dan menarikku ke dalam pelukannya lagi. “Yaitu aku.”

Sekarang, kalau begini caranya, memang mungkin tidak ada pilihan lain. Tidak ada yang mengenaliku sebaik Kyuhyun. Tidak ada yang mencintaiku lebih dari Kyuhyun. Dan tidak ada yang menerima penolakanku sebaik Kyuhyun.

“Kau?”

“Terbukti, aku masih tetap mencintaimu saat kau kembali padaku. Masih belum terlambat untuk kembali, seperti musim yang akan terus kembali meski berlalu.”

-End-

4 thoughts on “Finding Mr. Right”

Leave a comment