Another Million Pieces

Another Million Pieces

| Tonight in the deepest place, your light filled me fully |

| Oneshot | Kyuhyun Super Junior, Jo | Love, Romance, Travel |

-=-

Kyuhyun menatap Zürich Hauptbahnhof di hadapannya sejenak sebelum menatap buku perjalanan di tangannya. Ia mengambil pena dari saku coat coklat yang ia pakai, lalu menandai stasiun Zurich itu di buku catatannya. Angin bertiup, membalik halaman-halaman bukunya dan menjatuhkan beberapa lembaran dari buku catatan itu.

“Sial,” umpatnya dalam bahasa Korea agar orang-orang di sekitarnya tak tahu kalau ia menyumpah. “Seharusnya aku menjilid catatan ini sebelum pergi.”

Pria itu memunguti kertas-kertas di aspal, membersihkannya sebelum menyelipkannya ke dalam buku catatannya lagi. Ada sebuah foto terselip di sana. Foto seorang laki-laki yang wajahnya tak asing bagi Kyuhyun dan seorang wanita yang ia tak kenal.

“Wanita ini… aku tak pernah melihatnya,” gumam Kyuhyun sambil menatap foto itu lekat-lekat hingga tak menyadari ada wanita lain yang berjalan ke arahnya.

Wanita itu berjalan sambil melihat-lihat pemandangan di sekitarnya, tak sadar kalau ia akan menabrak Kyuhyun sedikit lagi. Dan benar saja, wanita itu menabrak Kyuhyun.

Entschuldigung,” wanita itu meminta maaf dalam bahasa Jerman sambil menunduk dan berlalu.

“Tidak ada orang Jerman yang menunduk seperti itu ketika meminta maaf,” ujar Kyuhyun membuat wanita itu berhenti dan menoleh.

“Kau orang Korea?” tanya wanita itu balik.

“Ya. Dan sepertinya kau juga,” ujar Kyuhyun sambil tersenyum.

“Ayahku orang Jerman, tapi ibuku orang Korea. Kau turis di sini?”

“Aku mahasiswa kedokteran di sini. Hanya saja, aku mendapat jatah libur,” ujar Kyuhyun.

Ach so,” gadis itu mengiyakan dalam bahasa Jerman.

“Kau sendiri?”

“Liburan sekaligus belajar. Aku mendapat jatah pertukaran pelajar selama dua bulan dari tempat kursusku di Korea.”

“Keren,” puji Kyuhyun. “Kau sudah lama di sini?”

“Tidak sama sekali. Aku baru sampai kemarin,” jawab gadis itu sambil tertawa dan mengulurkan tangan. “Namaku Jo. Siapa namamu?”

“Kyuhyun. Cho Kyuhyun. Aku sudah dua bulan di sini.”

“Dua bulan? Wirklich?” Jo mengangkat alis tinggi-tinggi.

Ja, wirklich.

“Wah, aku benar-benar iri padamu,” Jo menggeleng pelan. “Kalau kau memang sudah dua bulan di sini, kau tentu tahu tempat-tempat yang menarik untuk dilihat.”

“Tentu, aku bisa mengajakmu berkeliling kalau kau mau. Apa yang ingin kau lihat?”

“Aku tidak tahu. Karena itu aku minta kau memperlihatkannya padaku,” jawab Jo sambil mengangkat bahu.

Kyuhyun tertawa mendengar jawaban itu. Ia membuka buku perjalanan di tangannya dan memperlihatkannya pada Jo.

“Ini buku perjalanan ayahku ketika ia bersekolah di Zürich dulu,” cerita Kyuhyun. “Aku hanya akan mengikuti tempat-tempat yang ia tulis di sini. Kau mau ikut?”

“Tak masalah. Aku ikut.”

Well, sepertinya kau harus siapkan uang lebih.”

“Untukmu?”

“Tidak, tentu saja. Kita akan ke Flohmarkt.”

“Pasar loak?”

“Aku lebih suka menyebutnya pasar barang antik.”

“Baiklah.”

-=-

“Apa ada barang khusus yang kau cari?” tanya Jo pada Kyuhyun ketika mereka sampai di Flohmarkt Bürkliplatz.

“Piringan hitam,” ujar Kyuhyun sembari membuat gerak melingkar dengan jemarinya. “Aku suka mendengarkan musik dan bernyanyi. Bagaimana denganmu?”

“Aku tidak suka bernyanyi.”

“Bukan. Maksudku, apa ada barang khusus yang kau cari?” ralat Kyuhyun.

Jo tertawa kecil menyadari betapa buru-burunya ia menjawab.

“Aku mencari sebuah kenangan.”

“Tidak ada yang menjual kenangan di sini, Jo.”

“Memang tidak. Karena itu, aku tak butuh uang untuk mendapatkannya. Ibuku pernah berlibur di sini dulu. Ia menceritakan petualangannya di Swiss kepadaku. Ia mengatakan dengan jelas bahwa ia mengunjungi Flohmarkt Bürkliplatz.”

“Kau… bercerita seolah-olah ibumu dan kau begitu jauh.”

“Memang,” balas Jo sambil mengangkat bahu. “Ia sudah tidak ada sekitar sepuluh tahun lalu. Aku dan ayahku tinggal di Jerman sesudah ibuku meninggal.”

“Maaf, aku membuatmu bercerita tentang sesuatu yang tidak menyenangkan.”

“Tidak masalah. Sudah sepuluh tahun, dan semuanya baik-baik saja. Lupakan masalah itu. Sekarang, apa yang ingin kau lihat tadi?”

Kyuhyun melihat salah satu kios menjajakan piringan hitam yang nampak tua dan antik. Tanpa sadar, tangan Kyuhyun menyentuh pergelangan tangan Jo dan menariknya mendekati kios itu.

“Lihat,” ujar Kyuhyun sambil mengambil salah satu piringan hitam. “The Beatles. Keren sekali.”

Jo hanya menguap sekilas, tak tertarik pada benda itu. Ia membiarkan Kyuhyun melihat-lihat koleksi piringan hitam dari penjual kios itu. Sementara Jo sendiri melihat kios sebelahnya yang menjual gelang-gelang dari kulit.

“Elvis Presley atau The Beatles?” tanya Kyuhyun sambil mengangkat dua piringan dengan kedua tangannya.

“Tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu lagu mereka.”

“Serius?” Kyuhyun mengangkat alisnya tak percaya.

“Serius,” balas Jo cuek sambil angkat bahu. “Wie viel kostet die Armbänder?” Jo malah bertanya harga gelang kulit pada penjual di depannya.

“Kau ingin beli itu?” tanya Kyuhyun sambil menaruh piringan hitam di tangannya.

Natürlich,” Jo berkata sambil mengeluarkan dompet.

Kyuhyun buru-buru mencegah Jo membayar. Pria itu malah mengeluarkan uang dari sakunya dan membayar dua gelang kulit warna coklat kemerahan.

Danke,” ujar Kyuhyun sambil menerima gelang itu lalu memberikannya satu pada Jo.

“Kenapa kau membayarnya?”

Geschenk für Dich. Hadiah untukmu.”

Dich?” ulang Jo. “Tidak dengan ‘Sie’?”

“Kau lebih suka dengan ‘Sie’?” tanya Kyuhyun balik. “Kupikir, lebih nyaman berbicara dengan tingkatan teman daripada orang asing,” balas Kyuhyun.

“Baiklah. Tak masalah.”

Jo memakai gelang yang Kyuhyun berikan, lalu tersenyum senang sesudahnya. Ia menatap Kyuhyun yang masih seru melihat-lihat kios lain. Tetapi, matanya seperti melihat sesuatu yang tak asing dari pria itu.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Jo tiba-tiba.

“Tidak,” jawab Kyuhyun cepat. “Kenapa?”

“Kau terasa… tidak asing. Aneh, kan?”

“Ingin dengar yang lebih aneh?” Kyuhyun bertanya dan Jo mengangguk. “Aku juga merasa bahwa kau tidak asing.”

Lalu keduanya tertawa kecil.

-=-

“Ayahku pergi ke tempat ini,” ujar Kyuhyun sambil menunjuk Gereja di hadapannya.

“Saint Peter Zürich Church. Benar, kan?” balas Jo tanpa berlama-lama.

“Kau tahu tempat ini?”

“Sepertinya dari cerita ibuku.”

“Ini aneh,” ujar Kyuhyun sambil tertawa. “Mereka mengunjungi tempat-tempat yang sama. Sepertinya, tempat ini memang terkenal. Buktinya banyak orang yang mengunjunginya.”

“Ayahmu orang Swiss?”

“Tidak. Dia pernah belajar di Swiss sebelum menikah dengan ibuku. Dia menyukai tempat ini. Seperti ada kenangan yang membuatnya selalu tak bisa lepas dari Swiss.”

“Kenangan?”

“Ya,” ujar Kyuhyun sambil mengangguk pasti. “Tiap kali bercerita tentang Swiss, matanya akan berkaca-kaca, seperti ada sesuatu yang hilang darinya. Aku tak mengerti. Ini hanya pendapatku saja.”

Suara lonceng Gereja memecahkan keheningan antara Kyuhyun dan Jo. Kyuhyun melirik puncak bangunan Gereja dan tersenyum kecil. Ia lantas membungkuk pada Jo sambil mengulurkan tangan.

“Ingin berdansa, Yang Mulia?”

“Tidak lucu,” balas Jo setengah mendengus, mengagalkan acara yang Kyuhyun ciptakan.

Kyuhyun berdiri kembali, lalu tertawa kecil. Ia menatap sekelilingnya dan memulai ceritanya.

“Aku yakin, ada wanita yang ia sukai di Swiss.”

“Maksudmu?”

Pria itu membuang napas pelan.

“Ayahku percaya pada takdir. Ia sering grogi kalau memakai bus karena berpikir akan menemukan takdirnya di sana. Ia juga kerap malu-malu ketika menyeberangi jalan, merasa bahwa bisa saja takdirnya ada di seberang jalan itu.”

“Konyol.”

Danke. Aber er ist mein Vater. Dia ayahku. Dan aku juga kadang malu karenanya.”

Kyuhyun tersenyum penuh makna, lalu lanjut menatap bangunan Gereja yang sederhana namun menarik di hadapannya.

-=-

Keduanya menatap Zürisee, sebuah danau besar di Swiss yang nampak biru diterpa cahaya matahari. Kyuhyun membeli es krim dan membaginya untuk Jo. Mereka membicarakan tentang materi-materi kuliah, tujuan hidup mereka, dan tentu saja kehidupan di Swiss.

“Ayahku pernah menggunakan kapal di Sungai Limmat,” cerita Kyuhyun. “Tapi, dia bukan tipe orang yang akan buang-buang uang untuk mengendarai kapal semacam itu. Seingatku, dia sering mual ketika naik kapal.”

“Wanita itu mengajaknya,” ujar Jo tak peduli sambil menjilat es krim.

Sorry?

“Wanita yang bersama ayahmu itu, dia yang mengajak ayahmu naik kapal. Ayahmu pasti jatuh cinta setengah mati padanya sampai rela ikut naik kapal.”

“Kau ini penulis novel, ya?”

“Itu hobiku. Jadi jangan salahkan imajinasiku.”

Kyuhyun tertawa, menghabiskan es krimnya dan membuang tisu di tangannya.

“Kau bawa Handy?” tanya Kyuhyun pada Jo.

“Ya,” balas Jo sambil mengeluarkan handphone. “Untuk?”

“Foto,” jawab Kyuhyun cuek sambil menarik handphone Jo dan membuka aplikasi kamera.

Tanpa basa-basi, Kyuhyun mengambil selca mereka berdua dengan Zürisee sebagai latar belakangnya. Jo refleks menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, serta menempelkannya di pipi.

“Gaya kuno,” komentar Kyuhyun.

“Terima kasih.”

“Itu bukan pujian.”

“Kuanggap itu sebagai pujian.”

Kyuhyun tak menjawab lagi ketika Jo menariknya ke pelabuhan kecil, tempat turis-turis membayar tiket untuk menggunakan kapal sebagai bahan hiburan di tengah sungai Limmat.

“Kau mau naik ini?” tanya Kyuhyun tak percaya.

“Kau tidak mau? Kau mual kalau naik kapal?”

“Sebenarnya iya. Tapi karena kau mengajakku, aku akan menurutinya saja.”

“Berarti kau sudah jatuh cinta setengah mati padaku,” Jo membuat kesimpulan sesuka hati dan membayar dua tiket dengan selembar uang. “Aku yang traktir, sebagai ucapan terima kasih akan cintamu,” imbuhnya tak peduli.

Kyuhyun menekuk alisnya dalam-dalam, ingin protes meski tak bisa. Ia menurut saja pada akhirnya dan ikut masuk ke kapal turis itu. Keduanya berdiri di tepian kapal, menatap air yang jernih, dan Jo berteriak girang menyaksikan matahari terbenam.

“Apa besok kita bisa bertemu lagi?” tanya Kyuhyun.

“Tergantung.”

“Tergantung?”

“Tergantung. Jika kau bisa menemukan aku, kita akan menghabiskan hari bersama-sama lagi.”

“Oke. Tak masalah,” jawab Kyuhyun mantap. “Aku tahu tujuanmu besok.”

“Bagaimana mungkin? Aku tidak mengatakan apapun.”

“Kita lihat saja besok.”

-=-

Kyuhyun menatap cable car yang berjalan menuju puncak Mount Titlis. Pagi itu matahari cukup bersinar meski udara dingin menyerang tubuhnya. Angin bertiup lagi, menyusahkan Kyuhyun setiap kali ia lupa menjilid catatan ayahnya dan membuat isinya berhamburan di lantai.

“Sial,” desis Kyuhyun sambil memunguti lembar-lembar catatan itu dan membaca beberapa bagian yang terjatuh. “Seharusnya aku menanyakan namanya,” baca Kyuhyun dengan alis bertaut. “Namanya? Siapa orang yang ayahku maksud?”

Saat itu pula, Kyuhyun langsung menyusun kembali catatan-catatan itu dengan rapi, lantas membacanya dari awal.

“Ayahku dan wanita ini pergi ke Flohmarkt Bürkliplatz bersama. Lalu mereka mengunjungi Saint Peter Zürich Church. Aku mengajak wanita itu berdansa ketika lonceng Gereja berdentang. Hmmmm… romantis. Kami memakai kapal turis di sungai Limmat meski aku benci naik kapal. Ini kulakukan karena aku sudah jatuh cinta padanya. Whoa, jadi ayahku benar-benar jatuh cinta padanya.”

Kyuhyun tertawa kecil, tak menyangka bahwa ayahnya bisa seperti itu ketika masih muda. Ia membalik lembar catatan itu lagi dan kembali membaca.

Aku tanya padanya, siapa namanya. Tetapi ia tak menjawab dan menyuruhku untuk menemuinya besok kalau aku ingin tahu namanya. Aku yakin ia pergi ke Mount Titlis. Aku menemukan catatan rencana perjalanannya tanpa sengaja. Tetapi, ia tak pernah muncul hingga detik ini. Lalu, apa yang terjadi dengan wanita itu?” pikir Kyuhyun pada dirinya sendiri.

Tangan Kyuhyun membalik lembar terakhir, dan sebuah foto di sana membuat Kyuhyun terdiam dalam pikirannya.

“Wanita ini… mirip seseorang…”

“Kyuhyun!”

Kyuhyun menoleh, mendapati Jo melambai padanya dalam jarak tiga meter dengan ceria.

“Jo,” bisik Kyuhyun pelan sambil mengamati foto itu bergantian dengan wajah Jo.

Sementara Jo berlari cepat ke arah Kyuhyun sambil tertawa.

“Kau benar-benar menemukanku?” ujar Jo tak percaya dengan senyum manisnya.

“Aku… bahkan menemukan hal lain lagi yang lebih mengejutkan,” ujar Kyuhyun sambil memperlihatkan foto di tangannya pada Jo. “Apa kau pernah berjumpa dengan ayahku?”

“Hah?” Jo melongo bingung, lalu mengambil foto di tangan Kyuhyun dan mengamatinya beberapa detik. “Ini… ibuku… kan? Dan pria ini… ayahmu?”

Seperti sebuah kabut yang terangkat dalam pikiran mereka, segalanya menjadi lebih jelas.

-=-

Keduanya menatap puncak Mount Titlis yang diselimuti salju.

“Ibumu tidak datang ke tempat ini,” ujar Kyuhyun sembari menerawang ke langit. “Sayang sekali, ya. Seharusnya mereka bertemu di tempat yang indah ini. Aku bisa membayangkan bagaimana ayahku selalu gemetar atau grogi di sekitar ibumu.”

“Ibuku punya alasan,” jawab Jo sambil tersenyum sedih. “Malam itu, setelah ia berjumpa ayahmu, ia merasa sangat bahagia. Seperti ada kebahagiaan yang memeluk dirinya erat-erat. Tetapi, dia sakit parah. Dia takut kalau waktunya tak akan lama lagi.”

“Apa itu alasannya?”

“Ya,” jawab Jo pelan. “Jika ia bersama ayahmu, mereka tak bisa bersama-sama untuk waktu yang lama. Kematian akan memisahkan mereka.”

Kyuhyun tersenyum kecil mendengar penuturan Jo. Pria itu membuka catatan milik ayahnya lagi, lalu membacanya untuk Jo.

“Ayahku menulis ini sebagai penutup buku perjalanannya. Dia adalah kepingan-kepingan hatiku yang mengisi kekosongan dalam diriku. Di tempat yang paling gelap, ia bersinar dengan sangat-sangat terang. Dia adalah cinta yang tak terkatakan, karena aku terlalu takut untuk mengatakannya.”

Jo membekap mulutnya sendiri, dipenuhi oleh perasaan emosional yang mendalam. Tangisnya jatuh satu demi satu, membuatnya dibasahi oleh air mata.

“Ibuku pernah mengatakan sebuah kalimat yang membuatku selalu penasaran hingga detik ini. Katanya, ia menyesal karena tak mengatakan namanya dan menjadi pengecut. Dia minta maaf untuk itu semua.”

Dan Jo benar-benar menangis keras, membuat Kyuhyun tak tega. Kyuhyun memeluk gadis itu erat-erat, lalu mengusap bahunya beberapa kali.

“Jangan minta maaf seperti itu. Ayahku tidak menyalahkan ibumu. Dia malah bahagia untuk ibumu. Selalu bahagia dan mengharapkan kebahagiaan ibumu.”

Mereka menghabiskan hari itu di kaki Mount Titlis. Terasa seperti sebuah reuni, dengan jiwa yang sama dalam kondisi berbeda. Kepingan-kepingan yang hilang itu telah ditemukan kembali dan menyatu membentuk kenangan yang sama.

-=-

“Bagaimana kau tahu bahwa aku akan ke Mount Titlis?” tanya Jo ketika matahari terbenam.

“Sama seperti cara ayahku mengetahui bahwa ibumu akan ke Mount Titlis di hari kedua, meski akhirnya ibumu tak datang.”

“Maksudmu?”

“Ayahku menemukan catatan perjalanan ibumu. Kalau aku, aku tak sengaja membaca note yang kau buat di layar Handy milikmu.”

Jo mengangkat alis, lalu mengeluarkan handphone dari sakunya.

“Wajib ke Mount Titlis,” baca Jo sambil tertawa.

Well, benar, kan?” Kyuhyun ikut tertawa.

-End-

(Catatan: Ach so adalah ungkapan dalam bahasa Jerman yang kira-kira berarti ‘oh, begitu’ atau ‘oh, ya’. Dalam bahasa Jerman ada tingkatan yang berbeda antara ‘Sie’ dan ‘du’. ‘Sie’ berarti formal atau seperti pemakaian kata Anda. ‘Du’ berarti kamu atau kau. ‘Handy’ berarti handphone.)

8 thoughts on “Another Million Pieces”

Leave a reply to joanne andante Cancel reply